Banjir yang menyergap wilayah Jakarta dan sejumlah daerah di Indonesia pada awal tahun ini menjadi persoalan serius yang harus direspons secara sistematis dan terencana. Bukan hanya menjadi pekerjaan rumah untuk pemerintah, hal ini harus diselesaikan bersama, termasuk masyarakat.
Benang merah persoalan itulah yang diangkat di dalam diskusi IndoSterling Forum ke-9 yang digelar di Sampoerna Strategic Square, Jakarta, Kamis (5/3/2020).
“Dalam 20 tahun terakhir, jumlah korban akibat bencana di Indonesia banyaknya melampaui korban perang. Indonesia sendiri disebut-sebut sebagai supermarket bencana oleh para pemerhati,” ujar Letnan Jenderal TNI Doni Monardo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Masih menurut catatan Doni, kini Indonesia menjadi pemilik korban bencana alam terbesar kedua di dunia. Penyumbang terbesar datang dari tragedi Tsunami Aceh 2004. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat soal bencana alam.
Di sisi lain, bencana alam juga banyak yang terjadi akibat ulah manusia. Misalnya saja kebakaran lahan. Tercatat, pada tahun 2015 ada 2,6 juta hektar yang terbakar di Indonesia. Bencana ini mengakibatkan kerugian negara hingga US$ 16,1 miliar.
Kabar baiknya, tahun lalu angka ini menurun. Doni mencatatn, tahun 2019, 1,6 juta hektar lahan yang terbakar di Indonesia dengan kerugian diprediksi mencapai US$ 5 miliar.
“99% kebakaran lahan akibat ulah manusia. Jadi, jangan pernah membuka lahan dengan cara membakar. Kerugiannya akan sangat besar,” lanjut Doni.
Satu hal yang menjadi catatan, keseimbangan ekosistem harus menjadi pertimbangan utama dalam melakukan pembangunan ekonomi di negeri ini ke depannya.