Industri Migas RI Masih Menjanjikan, Investasinya Capai US$ 10,61 Miliar
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan industri minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia masih sangat menjanjikan di tengah rencana pemerintah bakal melakukan transisi energi. Hal ini tercermin dari realisasi investasi sektor migas dari hulu dan hilir yang sudah mencapai US$ 10,61 miliar atau 61% dari prognosa tahun 2023 sebesar US$ 17,44 miliar.
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji menuturkan secara terperinci total investasi hulu migas mencapai US$ 8,99 miliar dari target prognosa tahun 2023 sebesar US$ 15,56 miliar. Sementara itu, angka investasi hilir migas sebesar US$ 1,6 miliar dari target prognosa US$ 1,88 miliar, atau mencapai 85%.
BACA JUGA: Produksi Migas Domestik Pertamina Hulu Energi Tumbuh 1,45%
Tutuka menyebut peluang investasi migas di Indonesia sangat terbuka lebar, mengingat potensi sumber daya migas yang sangat besar. Dari data Januari 2023, proven reserves minyak bumi di Indonesia mencapai 2,41 billion barrel oil (BBO), sedangkan proven reserves gas bumi berada pada angka 35,3 trillion cubic feet (TCF).
“Proven reserves kita hanya 10% dari potensi sumber daya, atau dapat diartikan potensi sumber daya kita adalah 10 kali lipat dari proven reserve tersebut,” kata Tutuka melalui keterangannya, Senin (30/10/2023).
BACA JUGA: Strategi SKK Migas dalam Mencapai Target Produksi Migas 2023
Menurutnya, menjadikan potensi sumber daya tersebut menjadi proven reserve pemerintah bakal menghadapi banyak tantangan. Dengan begitu, diperlukan kajian lebih dalam, penambahan data yang kemudian dianalisis dan evaluasi untuk dilakukan pengeboran di beberapa cekungan-cekungan yang memiliki potensi minyak besar, seperti Sumatera Selatan, Jawa Timur, Sumatera bagian tengah atau sekitar Blok Rokan.
Selanjutnya, untuk gas bumi berada di Bintuni, Kutai, dan Sumatera bagian Utara. Untuk menarik investor, Tutuka menuturkan pemerintah juga memberikan regulasi yang atraktif, seperti dengan memberikan share split tidak lagi di angka 85-15, melainkan mulai dari 80-20, yang mana bagian pemerintah sebesar 80%, dan KKKS 20%.
Seiring dengan meningkatnya resiko yang ditentukan oleh pakar geologis dan geofisik, bagian pemerintah akan berkurang yang mana untuk gas bumi bisa menjadi 50-50, dan minyak bumi 55-45, atau bagian pemerintah 55% dan sisanya bagian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
“Pemberian insentif lain seperti depresiasi dipercepat, FTP (First Tranche Petroleum), dan lainnya, itu juga bisa duduk bersama dibahas diskusikan atau diajukan kepada pemerintah. Kemudian juga kita selalu berusaha untuk mempercepat urusan analisis masalah dampak lingkungan (Amdal) bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK),” ujar Tutuka.
Di sektor hilir migas, pemerintah terus berupaya meningkatkan pembangunan Infrastruktur gas bumi strategis guna mendorong interkonektivitas jaringan gas bumi. Salah satunya pembangunan pipa transmisi gas bumi Cirebon-Semarang (CISEM) yang baru tersambung ruas Semarang-Batang sepanjang 60 kilometer, dan pembangunan pipa gas Cisem Tahap II yakni ruas Batang-Kandang Haur Timur sepanjang 249 kilometer akan dimulai pada tahun 2024.
Pemerintah juga akan membangun ruas pipa gas transmisi Dumai-Sei Mangke sepanjang 400 kilometer. Jika ruas Dumai-Sei Mangke selesai, kelebihan gas di Jawa Timur bisa ditransfer ke Jawa Barat hingga Sumatera.
“Sehingga dari utara Sumatera sampai ke Jawa Timur bisa tersambungkan, kalau ada produksi yang sangat besar misalkan Andaman dan potensi besar lain di utara Bali dan utara Lombok bisa dialirkan juga ke pipa ini, jadi dari Jawa Timur bisa dialirkan sampai Jawa Barat hingga ke atas Sumatera, atau dari Andaman bisa dikirimkan transmisikan sampai ke bawah Jawa Timur,” ujar Tutuka.
Tutuka mengungkapkan jika infrastruktur hilir migas sudah siap, maka aliran gas dari hulu tersebut bisa dialirkan untuk industri pupuk ataupun kimia, maupun dialirkan ke Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
“Ini sebagai contoh integrasi antara hulu dan hilir, jadi jika ditemukan potensi gas, kurang lebih seperti itu, sehingga negara ini punya kekuatan untuk membangun industri sendiri untuk ketahanan nasional, tidak hanya ketahanan energi saja,” tuturnya.
Editor: Ranto Rajagukguk