CEO Citilink: Industri Penerbangan Sama Seperti Bermain dengan Efisiensi

marketeers article

Banyak yang bilang margin dalam bisnis penerbangan terbilang kecil. Untuk bisa menyentuh break-even poin (BEP), setiap penerbangan setidaknya harus bisa memenuhi 80% kursi penumpang. Selain itu, dari sisi regulasi dan keamanan, industri ini terbilang kompleks.

Namun, bukan berarti industri penerbangan sepi peminat. Bahkan, industri ini terus berkembang dengan pesat. Dalam waktu 10 tahun mendatang, pasar transportasi udara Indonesia diperkirakan akan berkembang lebih dari dua kali dibandingkan 15 tahun belakangan ini. Semua itu didorong oleh daya beli masyarakat yang semakin tinggi dan harga tiket penerbangan yang semakin terjangkau.

President & CEO Citilink Indonesia Juliandra Nurtjahjo mengatakan, saat ini ada lima tantangan dalam bisnis penerbangan. Yakni masalah harga bahan bakar dan nilai tukar, kebutuhan awak penerbang, congestions, tarif, dan pemanfaatan teknologi digital.

Industri penerbangan sangat rentan terhadap dampak pelemahan nilai tukar dolar dan kenaikan harga bahan bakar avtur. Biaya bahan bakar merupakan salah satu kontribusi biaya terbesar dalam operasional penerbangan, atau sebesar 30% dari beban produksi. Fuel adalah komponen terbesar pada cost component.

Jika pada tahun 2017, kontribusi fuel hanyalah 30%, tahun ini naik hingga 43%. Selain avtur, beban biaya sewa pesawat juga menjadi penyumbang beban yang cukup tinggi. Sewa pesawat dibayar dengan kurs dolar AS. Begitu juga pembelian avtur dari Pertamina yang harganya menggunakan ‘duit hijau’ itu.

“Sedangkan pendapatan Citilink mayoritas berasal dari rupiah. Sehingga, kenaikan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah menjadi tantangan terbesar dalam industri penerbangan,” ujar Juliandra.

Hal ini berdampak pada penetapan tarif. Terlebih, pemerintah telah mengatur persoalan tarif batas atas dan bawah. Dengan kondisi harga avtur yang melonjak tajam dan nilai tukar dolar AS semakin tinggi, maka diperlukan perubahan dari tarif batas atas tiket penerbangan tersebut. Hal ini untuk membantu maskapai bertahan dalam kondisi persaingan industri yang semakin kompetitif.

“Kita semua tahu bahwa maskapai penerbangan memiliki model bisnis high investment, high impact of uncontrollable factors namun dengan margin yang tipis,” terangnya.

Bagi Juliandra, mengelola sebuah maskapai diibaratkan sebagai permainan efisiensi. Sebagai contoh, setiap pelemahan nilai tukar Rp 100 per dolar AS, dapat mengurangi keuntungan maskapai hingga jutaan dolar AS. Demikian juga setiap penguatan satu sen dolar AS dapat berdampak pada pengeluaran hingga jutaan dolar AS.

Kebutuhan awak penerbang, khususnya posisi captain juga menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya, diperlukan waktu yang tidak sebentar untuk mencetak seorang captain. Bisa mencapai 4-5 tahun. Tergantung jam terbang. Kebutuhan captain ini dihadapi oleh kebanyakan maskapai di Indonesia. Ada ketidakseimbangan kebutuhan maskapai yang membutuhkan captain dengan ketersediaan co-pilot yang ada di pasar.

Namun, ada prediksi yang menyebutkan Indonesia akan menjadi pasar penerbangan kelima terbesar di dunia pada tahun 2029. Saat ini, Indonesia tercatat sebagai pasar penerbangan kesepuluh terbesar di dunia. Untuk menanggapi tantangan pertumbuhan itu, dibutuhkan dukungan infrastruktur yang kuat. Di antaranya kondisi bandara yang memadai dan mumpuni. Penambahan kapasitas bandara di seluruh penjuru Indonesia dengan langkah penambahan jumlah terminal harus menjadi perhatian bagi pemerintah.

“Seiring dengan meningkatnya frekuensi penerbangan domestik dan internasional, penambahan waktu operasional bandara juga diperlukan untuk mendukung pertumbuhan tersebut,” ujar pria yang menyabet gelar Best Indonesia Marketing Champion 2018 dari sektor transportasi itu.

Baginya, dalam membesarkan nama Citilink Indonesia sebagai low cost carrier (LCC) premium Tanah Air, diperlukan beberapa strategi. Di antaranya adalah langkah pembatasan dan penghematan penggunaan bahan bakar. Ini mengikuti kebijakan Garuda Indonesia sebagai induk perusahaan.

Adapun langkah penghematan penggunaan bahan bakar tersebut yaitu dengan fuel tankering, pack off, delayed APU bleed, ground time di bawah 30 menit, dan penggunaan Ground Power Unit (GPU) saat pemeliharaan. Ditambah, menggunakan mesin tunggal saat melakukan taxi di bandara.

Kemudian, pemain harus meningkatkan pendapatan nonpenumpang, termasuk pendapatan ancillary, kargo dan lainnya. Peningkatan pendapatan tersebut dapat dilakukan dengan memaksimalkan utilisasi pesawat dalam mengoptimalkan penggunaan bahan bakar pesawat, pembatasan alami dengan menambahkan rute yang menggunakan mata uang asing, serta menyesuaikan harga tiket penerbangan.

Kinerja Positif

Meski kondisi yang dihadapi sangatlah berat, Citilink menunjukkan kinerja positif di sepanjang 2017 lalu. Peningkatan signinfikan terlihat dari membaiknya pelayanan jasa Citilink Indonesia bagi seluruh penumpangnya seperti tingkat ketepatan waktu dari 82,77% pada tahun 2017 menjadi 85% pada 2018. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan Citilink meraih tiga besar maskapai yang memiliki On Time Performance baik selama 3 bulan berturut-turut dari OAG.

Total frekuensi penerbangan meningkat sebesar 13%. Naik dari sekitar 3.500 penerbangan per hari pada tahun 2017 menjadi hampir 4.000 penerbangan per hari pada tahun 2018. Lalu,  jumlah rute yang dilayani Citilink meningkat dari hanya 66 rute pada tahun 2017 menjadi 77 rute baik domestik maupun regional.

Pada sektor pendapatan, per November Citilink mengalami peningkatan sebesar 51% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. “Dalam waktu dekat, Citilink Indonesia akan terus melakukan ekspansi untuk rute jarak menengah atau di kawasan Asia. Sehingga, dapat menjadi dorongan revenue pada tahun berikutnya,” tutupnya.

Related

award
SPSAwArDS