Potensi ekspor industri logam berbasis nikel yang mencapai US$ 7,08 miliar pada 2019 mendorong pemerintah memperkuat kinerja industri ini. Kebijakan hilirisasi diyakini dapat memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, nilai ekspor produk industri logam berbasis nikel pada 2019 meningkat 47,5% dibandingkan 2018.
Dalam upaya memacu daya saing industri logam dasar, pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengamanatkan tentang peningkatan nilai tambah melalui pengolahan sumber daya mineral.
Selain itu, pemerintah juga telah menerbitkan UU No 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang diturunkan dalam pembentukan peraturan pelaksana berupa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sumber Daya Alam.
Implementasi regulasi tersebut, antara lain mengatur mengenai pemanfaatan sumber daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Kemudian, menekankan pelarangan atau pembatasan ekspor sumber daya alam dalam rangka peningkatan nilai tambah industri guna pendalaman dan penguatan struktur Industri dalam negeri, serta jaminan ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk industri dalam negeri.
“Dewasa ini, industri smelter nikel yang menghasilkan NPI, feronikel, nikel hidrat dan stainless steel telah tumbuh pesat. Hingga saat ini, telah beroperasi sekitar 19 smelter yang tersebar di Jawa Timur, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara,” ungkap Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian Dody Widodo di Jakarta, Jumat (07/08/2020).
Bahkan, sudah ada yang dalam proses pembangunan smelter nikel yang mengolah nikel kadar rendah menjadi bahan baku baterai yang berlokasi di Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Banten.
Besarnya kontribusi industri smelter nikel tersebut, lanjut Dody, perlu didorong untuk pengembangan hilirisasi produknya. “Diharapkan smelter nikel tidak hanya melakukan ekspor dalam bentuk NPI maupun bahan baku baterai, tetapi dalam bentuk produk lebih hilir seperti produk hilir berbahan baku stainless steel dan baterai listrik,” imbuh Dodi.
Melihat potensi dari peran industri smelter nikel di tanah air, Kemenperin memberikan apresiasi atas terbentuknya Forum Nikel Indonesia (FINI). Diharapkan industri smelter nikel di dalam negeri dapat semakin berperan dalam pengembangan industri logam dasar dan produk hilir nikel.
Ketua Umum FINI Alexander Barus mengatakan, forumnya telah menghimpun sebanyak 23 industri smelter nikel di Indonesia dengan total kapasitas terpasang 3,79 juta metrik ton NPI per tahun dan 0,8 juta metrik ton per tahun atau hampir 90% kapasitas smelter nasional. “Di FINI juga ada beberapa perusahaan tambang nikel dan turunannya mulai bergabung,” sebut Alex.
Alex mengemukakan, industri smelter tersebut telah membuktikan kontribusinya secara signifikan bagi perekonomian nasional. “Ekspor tahun ini diproyeksi menembus US$ 8-10 miliar. Jadi, selain bermanfaat terhadap penerimaan devisa negara, dapat pula mengurangi defisit neraca perdagangan. Selain itu, investasinya sampai saat ini mencapai US$ 15-16 miliar,” papar Alex.
Oleh karena itu, dalam menjaga keberlangsungan usaha, FINI berharap kepada pemerintah agar dapat memberikan kemudahan izin dan menciptakan iklim investasi yang kondusif. “Kami ingin industri smelter ada sinergi dengan industri hilir. Makanya, FINI bisa menjadi mitra yang produktif dengan pemerintah. Jadi, cita-cita kita untuk membangun produk nikel, terutama produk hilir yang high-tech bisa cepat dilakukan,” paparnya.
Direktur Perwilayahan Industri Ditjen KPAII Kemenperin Ignatius Warsito menyatakan, pemerintah telah berupaya mempermudah penataan ruang dalam pembangunan kawasan industri yang terintegrasi. Contohnya, di luar Pulau Jawa, kawasan akan difokuskan pada industri berbasis sumber daya alam.
“Salah satunya adalah Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah yang dikhususkan untuk industri logam berbasis nikel,” ujarnya. Konsep tematik di tiap kawasan tersebut sesuai dengan kompetensi di daerahnya. Pengelompokan industri sejenis, juga dapat menguntungkan perusahaan.
Saat ini, terdapat 118 kawasan industri di Indonesia, dengan total luas lahan sekitar 51 ribu hektare. Sebanyak 81 kawasan dengan luas 36 ribu hektare berada di Pulau Jawa. Sisanya tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Hingga akhir 2020 nanti, Kemenperin menargetkan jumlahnya bertambah menjadi 156 kawasan industri dengan luas lahan 65 ribu hektare.