Tak perlu waktu bertahun-tahun bagi DBS untuk mengakuisisi bisnis ritel dan wealth management (manajemen kekayaan) dari ANZ. Akuisisi tersebut telah terjadi di lima pasar sekaligus, yaitu Singapura, Hong Kong, China, Taiwan, dan terakhir Indonesia. Totalnya senilai Rp 1 triliun.
Akuisisi selalu penuh dengan berbagai tujuan. Yang paling utama adalah DBS ingin memperkuat positioning-nya di market regional, termasuk pasar Indonesia. Selama ini, ritel merupakan core competency dari ANZ. Sehingga dengan begitu, DBS akan memperkuat segmen ritelnya, termasuk kesempatan merangsek pasar UMKM.
Paulus Sutisna, Presiden Direktur PT DBS Bank Indonesia mengungkapkan, akuisisi itu akan menambah jumlah nasabah dan karyawan pada dua bisnis tersebut. “Di sisi lain, kondisi ini sangat menguntungkan nasabah ANZ dalam hal layanan perbankan universal yang lengkap serta berbagai data dan insight yang kami miliki,” tutur dia.
Bisa dibilang, DBS melakukan aksi korporasi yang tepat. Pasalnya, potensi bisnis ritel perbankan masih sangat “seksi” di Indonesia, walau persaingannya kian kompetitif. Lewat aksinya itu, DBS punya peluang meningkatkan pangsa pasarnya di Indonesia, tidak hanya di dalam kota, melainkan juga masuk ke pasar yang lebih luas, yaitu sektor kredit menengah dan mikro.
Apalagi, dukungan modal dari induk usaha yang berbasis di Singapura turut memperkuat operasional DBS di tanah air. Asal tahu saja, DBS merupakan bank terbesar di Asia Tenggara, bahkan jauh lebih besar dibanding total aset Bank Mandiri, BCA, BRI dan BNI jika mereka digabung.
“Meskipun begitu, sulit bagi DBS untuk mendongkrak langsung market share-nya di Indonesia. Sebab, bank-bank besar akan berusaha mempertahankan pangsa pasarnya,” kata Chief Economist Bank Bukopin Sunarsip.
Analisa lainnya datang dari ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian. Ia bilang manajemen kekayaan yang akan ditawarkan DBS akan berupa jasa pengelolaan kekayaan bagi orang-orang super kaya, meliputi konsultasi pajak, asuransi, dan pensiun.
Jasa-jasa itu, menurut dia, bakal semakin dicari oleh orang-orang Indonesia, mengingat pertumbuhan kalangan super kaya di negeri ini begitu cepat. Selain itu, faktor tax amnesty diprediksi turut mendongkrak permintaan jasa tersebut.
Sedangkan ritel perbankan yang disorot DBS adalah pasar kartu kredit. “Pasar ini dinilai menjanjikan karena pertumbuhan kelas menengah Indonesia yang besar, serta perilakunya yang konsumtif,” terang Dzulfian.
Editor: Saviq Bachdar