Tidak bisa dipungkiri, perkembangan teknologi surat elektronik nyatanya telah menjadikan surat menyurat tradisional mulai ditinggalkan masayrakat. Kondisi itu lambat laun memengaruhi penggunaan perangko (filateli) di Indonesia. Pernyataan itu dilontarkan Tata Sugiarta, Manager Filateli PT Pos Indonesia (Persero).
Walau secara volume permintaan mengalami penurunan, PT Pos masih mencetak perangko sebagai salah satu sumber pendapatan. Selain terpaan teknologi, jumlah filateli (pengoleksi perangko) mengalami penurunan. Komunitas Filateli Indonesia mengungkapkan, saat ini ada sekitar 1.500 filateli, sedangkan pada tahun 1989 jumlahnya mencapai satu juta filateli.
“Dulu, perangko digunakan untuk mengirim surat dan barang. Kini perannya tergantikan oleh email dan layanan kurir yang mulai menjamur di Indonesia,” papar Tata kepada Marketeers, Selasa (19/5/2015).
Tata mengatakan, PT Pos mencetak tiga puluh ribu hingga satu juta keping perangko setiap tahunnya. Adapun maksimal perangko yang dicetak BUMN ini mencapai 15 juta keping per tahun. Dari angka itu, hanya 60% nya yang terserap pasar, sisanya menjadi stok di gudang. “Sehingga, kami bagi-bagikan stok perangko itu ke masyarakat, ataupun ke sekolah-sekolah,” ucapnya.
Yang cukup mengejutkan, dari sejumlah perangko yang terjual, 40% nya malah berasal dari Jakarta. Penjualan terbesar lainnya juga disokong dari kota-kota besar seperti Bandung, Yogyakarya, Surabaya, Medan, dan Makassar. “Secara total, pendapatan kami tidak besar, hanya Rp 30 miliar per tahun. Tahun ini pun kami menargetkan pendapatan tumbuh menjadi Rp 32 miliar,” terangnya.
Setiap tahunnya, PT Pos mencetak paling sedikit 15 seri perangko. Jumlahnya pun tergantung tema seri tersebut. Misalnya untuk seri Flora-Fauna, PT Pos mencetak sebanyak satu juta keping per tahun. Untuk tema yang kurang populer seperti Hari Kebangkitan Nasional, dicetak tiga puluh ribu keping per tahun. Diakui Tata, setiap tema bisa memiliki satu, tiga, hingga tiga puluh desain dan dijual seharga Rp 3.000, Rp 8.000, hingga Rp 50.000
“Perangko bertema peringatan 150 tahun perangko di Indonesia yang dicetak di Prancis dibanderol seharga Rp 50.000. Perangko itu bisa digunakan untuk pengiriman surat ke Eropa. Kami hanya mencetak sebanyak 40.000 keping tahun lalu, dan sudah ludes terjual,” ungkap Tata.
Penjualan perangko juga marak terjadi di secondary market, alias di luar outlet-outlet PT Pos Indonesia. Tata bilang, harga perangko di secondary market terkerak naik, khususnya perangko yang berumur puluhan hingga ratusan tahun. “Perangko termahal di Indonesia sampai saat ini yaitu perangko Hindia Belanda yang dicetak pada tahun 1984. Harganya kini sekitar Rp 20 miliar dan barangnya ada di secondary market,” katanya.
Namun, Tata menampik jika usia perangko menjadi faktor yang menyebabkan sebuah perangko menjadi mahal. Ia bilang, selain usia, volume juga menjadi penentu. “Perangko Soekarno lebih murah keimbang Habibie, karena perangko Habibie saat itu hanya dicetak 300.000 keping, sedangkan Soekarno sebanyak 14 juta keping. Seperti hukum ekonomi, semakin langka, barang semakin mahal,” tuturnya.
Sinergi Co-Branding
Dalam meningkatkan kembali awareness perangko di Indonesia, PT Pos kerap bekerja sama dengan pihak swasta untuk mencetak perangko dengan tema-tema tertentu. Pihak PT Pos menyebutnya sebagai Perangko Prisma, alias perangko yang dicetak di luar edisi rutin.
Tata tidak bisa menyebut berapa banyak seri Perangko Prisma yang dicetak Pos setiap tahunnya. Sebab, co-branding itu banyak yang terjadi secara spontan. Tahun ini, Pos bersama PT Banten West Java TDC, anak usaha PT Jababeka Tbk, membuat perangko Tanjung Lesung yang merupakan Kawasan Ekonomi Khusus sektor pariwisata. Adapun jumlah yang dicetak sebanyak 1.000 lembar.
“Menggunakan perangko merupakan salah satu alternatif dalam mempromosikan destinasi wisata. Apalagi, ini mentangkut promosi ke turis asing,” paparnya.
Sebelumnya, PT Pos juga sempat mencetak perangko bertema 200 Tahun Candi Borobudur dan Keraton Ratu Boko. Bahkan, perangko itu menyematkan teknologi augmented reality, yang mana konsumen dapat melihat gambar secara tiga dimensi menggunakan kamera smartphone. “Banyak turis yang datang ke Keraton Ratu Boko lantaran tahu dari perangko yang diperolehnya. Saya rasa, ini adalah cara efektif untuk mempromosikan destinasi Indonesia kepada para filateli dunia,” tuturnya.
Tak hanya objek wisata, PT Pos pun pernah mencetak perangko finalis Akademi Fantasi Indosiar (AFI) pada tahun 2003. Saat itu, perangko tersebut diburu anak muda yang menggemari tayangan tersebut. “Kini, kami kurang promosi. Kami harap kolaborasi dengan berbagai pihak semacam itu bisa meningkatkan penggunaan perangko di Indonesia,” katanya mengakhiri.