Konsep smart city atau kota cerdas di mata Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla tidak semata tentang teknologi. Ia menilai faktor utamanya adalah kepemimpinan. Menurut Kalla, tanpa adanya kepemimpinan dengan disiplin yang kuat akan membuat suatu kota terhambat menuju predikat kota cerdas.
Kalla mencontohkan Singapura sebagai negara kota yang paling cerdas di ASEAN. Menurutnya, pembangunan kota cerdas Singapura ini tidak lepas dari kontribusi Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Singapura sejak 1959-1990 yang meninggal dunia pada 23 Maret lalu. Hingga kini, Singapura menjadi negara yang memiliki banyak larangan di sana-sini. Peraturan itu dibuat dengan disiplin yang kuat. “Hukuman tersedia bagi mereka yang meludah atau membuang permen karet di tempat umum,” kata Jusuf Kalla di tengah acara peluncuran Indeks Kota Cerdas Indonesia persembahan Kompas dan PGN, di Jakarta, Selasa (24/3/2015).
Hal tersebut berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Banyak kompromi yang terjadi untuk peraturan di negeri ini. Menurut Kalla, perlu banyak kata “tidak” ketimbang “ya” untuk mewujudkan kota cerdas. “Jangan sedikit-sedikit bilang ya,” ungkap Kalla.
Kalla mencontohkan dalam hal pemberian izin berdagang. Bila semua diperbolehkan berjualan di mana saja, tentu pemandangan kota menjadi tidak menarik karena kotor. Selain itu, Kalla juga menyinggung soal hotel yang sudah berlebih jumlahnya namun tetap mendapat perizinan pembangunan. Kalla pun menyentil pembangunan mal yang terlalu masif di kota besar dan menyingkirkan ruang terbuka hijau. Ini menjadi bukti ketidaktegasan dari pemimpin kotanya.
Kepemimpinan yang bisa menggerakkan masyarakat untuk berbuat baik sangatlah dibutuhkan. Menurut Kalla, pemimpin harus bisa melibatkan masyarakat untuk bergerak. Contohnya, gerakan bersama dalam membersihkan kota. Ia menilai, untuk membuat kota selalu bersih tidak bisa hanya mengandalkan petugas kebersihan. Justru, semua komponen masyarakat perlu bersatu untuk mewujudkannya.