Karakteristik Gen Z dengan generasi lainnya sangat berbeda, terutama dalam hal bekerja. Apalagi, Gen Z ini sangat akrab dengan mental health.
Hal tersebut paling sering dibicarakan di kalangan Gen Z. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh MarkPlus Inc dan MarkPlus Institute, ketika memasuki dunia kerja, Gen Z lebih memiliki pekerjaan yang memiliki komunitas yang suportif, baik itu dari sisi partner kerja, atasan, hingga kemudahan mengeluarkan aspirasi.
BACA JUGA: Kenali Bahaya dari Self Diagnosis dan Cara Pencegahannya
“Gen Z ini juga sangat mementingkan budaya perusahaan, termasuk rekan-rekan yang kompetisinya sehat dan budaya work life balance. Justru, kompensasi dan gaji itu bukan nomor satu. Malahan, mereka lebih menginginkan yang bisa bekerja di mana saja, atau work from anywhere. Intinya, ekspektasi mereka di tempat kerja itu cukup sulit dipenuhi,” kata Aniza Nurfebriany, Industry Lead of Quick Survey & Syndicated Research MarkPlus, Inc dalam acara Campus Marketeers Club bertajuk Combating Self-Diagnosis, Jumat (21/10/2022).
Inilah mengapa, Gen Z seringkali mengalami perbedaan antara ekspektasi dan realita saat memasuki dunia kerja. Sebab, kenyataannya dunia kerja tidak seindah yang dibayangkan.
BACA JUGA: PLN Ajak Milenial dan Gen Z Dukung Transisi Energi di Indonesia
Mereka akan melakukan sesuatu yang tidak suka, sulit, dengan bayaran Upah Minimum Regional (UMR). Inilah yang kemudian menyebabkan Gen Z rentan mengalami burn out.
“Gen Z juga mengatakan mereka merasakan stres dan anxious saat bekerja karena kurang work life balance. Ada pula fenomena quite quitting, jadi mereka melakukan pekerjaan sekenanya saja. engagement ke perusahaan juga sudah kurang. Berdasarkan riset, ini paling sering terjadi di Gen Z. Inilah mengapa penting bagi mereka untuk memahami mindfulness,” ujar Aniza.
Berdasarkan riset tersebut, terdapat empat dimensi dalam mindfulness. Pertama, survival atau profit, yaitu harus memenuhi kebutuhan primer dahulu. Dalam hal ini, pekerja mencari perusahaan dengan gaji yang baik. Kedua, awareness atau people.
“Di sini, pekerja sudah menyadari bahwa kesehatan jasmani dan rohani itu penting. Jadi, mereka mencari pekerjaan yang work culture nya bagus. Dari sisi perusahaan pun bisa menyediakan hal tersebut,” kata Aniza.
Selanjutnya, transformation atau planet. Di sini, pekerja sudah mulai memikirkan impact positif ke lingkungan ataupun sosial. Terakhir, actualization atau purpose. Dalam hal ini, pekerja sudah memikirkan bagaimana keberlangsungan mereka bisa bermanfaat bagi banyak orang.
Aniza kemudian membagikan tips bagaimana mempersiapkan diri saat memasuki dunia kerja, walaupun ekspektasi dan realitanya akan berbeda. Pertama, biasakan diri dengan time management.
“Ini akan menjadi salah satu hal yang membuat kalian burn out apabila kalian tidak terbiasa. Sebab, kalian bisa merasa overwhelm dengan begitu banyaknya task yang diberikan atasan kalian,” ucap Aniza.
Kedua, pastikan skill yang dimiliki selalu bertambah atau updated. Intinya, harus bisa meningkatkan value ke perusahaan. Lalu, harus ada kehidupan personal di luar kehidupan profesional.
“Kalian harus tetap berhubungan dengan orang-orang di luar pekerjaan kalian, pastikan kalian bisa menghabiskan waktu juga di luar waktu bekerja,” tutur Aniza.
Terakhir, harus ada hobi di luar pekerjaan. Jadi, apabila terdapat masalah dalam pekerjaan, ada hal lain yang disukai dan bisa dilakukan.
“Selain itu, kalian juga harus bisa menyadari posisi kalian saat ini bagaimana, harus ada better self awareness. Intinya, be mindful at work,” kata Aniza.
Editor: Ranto Rajagukguk