Tiga tahun berselang, PT Combiphar berhasil melakukan transformasi perusahaan dari perusahaan obat generik menuju perusahaan consumer healthcare. Tahun depan, perusahaan akan meningkatkan portofolio produk preventifnya.
Sejak Michael Wanandi, CEO PT Combiphar mengambilalih pimpinan pada tahun 2011, keputusan yang tak lazim diambil perusahaan. Dengan pemain farmasi yang berjumlah 240 perusahaan, baik local maupun multinasional, membuat pasar farmasi terfragmentasi pada obat-obat yang bersifat kuratif, baik ethical maupun OTC.
Belum lagi, pada tahun 2011, wacana BPJS mengemuka. Asuransi nasional bersifat wajib itu di satu sisi membantu masyarakat untuk memperoleh akses kesehatan. Di sisi lain, BPJS menjadi single buyer untuk kebutuhan obat, yang membuat perusahaan farmasi yang ikut serta dalam BPJS harus memberikan harga serendah mungkin.
“Saat itu, saya berpikir mau kemana saya membawa perusahaan ini? Dimana competitive advantage dari perusahaan jika harus menjadi cost driver?.” Ujar Michael mengenang awal-awal transformasi perusahaannya.
Pasalnya, aku Michael, menjadi cost driver itu sulit. Sebab, bahan baku industri farmasi masih diimpor dari Tiongkok dan India. Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS masih volatile.
Ditambah lagi dengan inflasi dan Upah Minimum Provinsi yang terus bergerak naik. Hal-hal di atas membuat Combiphar berpikir ulang jika mesti harus jor-joran di BPJS.
Persaingan yang tidak sehat di bisnis obat generik meyakinkan Michael untuk mengubah positioning perusahaannya. “Ada pemikiran yang salah mengapa harga obat mahal? Seharusnya, kenapa tidak hidusp sehat dulu? Mengapa kalau sudah sakit, abru berobat?,” jelas pria kelahiran Zurich, 9 November 1968 ini.
Salah satu hal yang dilakukan Michael selama trasnformasi itu adalah bagaimana memperkenalkan kembali brand Combiphar kepada masyarakat. Sebab, berdasarkan survei yang dilakukannya, masyarakat lebih mengenal merek obat batuknya OBH Combi ketimbang Combiphar.
“Selama ini, dunia farmasi lebih dikenal oleh praktisi kesehatan, seperti dokter, perawat, atau apoteker. Maka itu, yang saya lakukan pertama kali adalah me-rebranding logo kita dengan warna ungu, warna yang unik untuk perusahaan farmasi. Sehingga, masyarakat lebih aware dengan Combiphar,” terangnya.
Selain perubahan logo, strategi komunikasi pun difokuskan pada perempuan. Menurut Michael, perempuan merupakan influencer yang dapat mempengaruhi lingkungan sekitarnya, seperti keluarga dan teman.
Perubahan juga dilakukan dengan me-repackaging botol OBH Combi agar terlihat lebih muda. Perusahaan menggunakan sosok penyanyi Andien sebagai bintang iklan dari obat batuk yang pernah berada di posisi puncak WOW Brand 2015.
“Agar orang tahu siapa kita, salah satunya melalui event. Kami saat ini masuk ke event-event olahraga seperti gelaran Combi Run, Combi Golf, dan Combi Tennis. Ini adalah cara kami dekat dengan konsumen yang kami bidik,” ujar Michael.
Setelah dinilai berhasil meningkatkan awareness Combiphar sebagai perusahaan consumer healthcare, kini giliran pihaknya meningkatkan popularitas produk-produk kesehatannya.
Sampai saat ini, Combiphar memiliki berbagai produk preventif, yaitu susu nutrisi Apta+, sabun kesehatan wanita Privé, suplemen kesehatan tulang Osteopor, serta merek beauty healthcare Labo yang diimpor perusahaan dari Italia.
“Dulu, produk etikal kami menguasai 65% dari portofolio produk. Saat ini, 65% justru produk-produk consumer healthcare,” terang Michael.
Dalam “menjual” produk-produk tersebut, Combiphar tidak bisa melakukan strategi hard selling. Yang dilakukan adalah mengedukasi kosumen mengenai gaya hidup sehat.
“Jarang perusahaan farmasi yang mengajak orang untuk hidup sehat. Justru kami ajak konsumen untuk tidak sakit, sebab biaya sakit jauh lebih mahal ketimbang menjadi sehat,” tuturnya.