Inilah Momentum Pendewasaan Ekosistem Startup di Indonesia

marketeers article
Ekosistem startup. Sumber: www.123rf.com

Dunia startup di Indonesia belakangan sedang mendapat sorotan. Pasalnya, beberapa startup melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada sebagian karyawannya. Banyak pihak menilai secara beragam fenomena PHK tersebut. Sebagian menilai kasus PHK tersebut sebagai indikasi terjadinya bubble burst dan sebagian lagi menilai PHK tersebut sebagai bagian biasa dari proses bisnis. Ada pula yang menyatakan saat ini sebagai momentum tepat untuk pendewasaan ekosistem startup di Indonesia.

Lepas dari benar dan tidaknya pecahnya gelembung atau bubble burst tersebut, saat ini merupakan momentum yang tepat bagi startup di Indonesia mawas diri, khususnya di era pascapandemi. Tentu saja, PHK menjadi indikasi adanya persoalan umum di kalangan startup mengingat hal tersebut terjadi tak hanya pada satu atau dua startup saja.

“Saya melihat situasi ini lebih tepat sebagai koreksi. Kalau bubble burst itu kesannya bolanya meletus dan tidak ada sisanya alias ambyar. Startup Indonesia belum sampai ke sana. Meski demikian, tak disangkal adanya pelemahan dan koreksi,” kata Eddi Danusaputro, Sekretaris Jenderal Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) dan CEO Mandiri Capital Indonesia (MCI) kepada Marketeers.

Membahas startup tak bisa dilepaskan dari venture capital (VC), mengingat startup tak bisa hidup tanpa VC, demikian juga sebaliknya. Eddi melihat ekosistem startup ini sudah berlangsung sekitar 12 tahunan dan masih relatif muda. Eddi berpendapat naik turunnya startup merupakan hal wajar, sama seperti aset class lainnya, seperti emas, properti, saham, hingga komoditas.

“Fenomena ini masih dalam batas kewajaran. Justru ini menjadi momen pendewasaan ekosistem startup di Indonesia. Tak mungkin valuasi akan naik terus tanpa koreksi alias tidak realistis,” kata Eddi.

Meski demikian, Eddi juga tidak menyebut bahwa kondisi startup di Indonesia sedang baik-baik saja. Mengingat jumlah investasi berkurang, baik dari sisi kuantitas (number of deals) maupun kualitas (size of the deals), mengalami penurunan dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena ada pengurangan likuiditas.

“Tentu ada drivers-nya. Kalau dirunut, salah satunya adalah pandemi. Lalu juga ada perang. Segala sesuatu regulasi yang terkait dengan hal itu menyebabkan ekspor berkurang sehingga harga menjadi naik. Biasanya bank sentral akan menaikkan suku bunga. Kenaikan suku bunga ini menyebabkan investment cost juga naik. Akibatnya, investor menjadi lebih selektif dan tidak lagi jor-joran berinvestasi kepada startup,” katanya.

Lantaran investor semakin selektif, startup tak lagi bisa mengharapkan dana investasi secara gampang seperti tahun-tahun sebelumnya. Oleh karana itu, sambung Eddi, startup perlu menjaga modalnya agar bisa beroperasi terus. Salah satu caranya dengan melakukan efisiensi, entah dengan pengurangan bujet marketing, pengurangan ekspansi ke daerah baru, termasuk PHK. “Semua langkah itu normal demi efisiensi,” katanya.

Koreksi lain pada startup terletak pada strategi mereka untuk lebih membangun bisnis yang mengusung keberlanjutan (sustainability). Dengan demikian mantra growth at all cost alias jor-joran dalam membakar duit untuk mengejar akuisisi pelanggan maupun merekrut karyawan sebanyak-banyaknya perlu ditinjau kembali.

Menurut Eddi, growth at all cost mungkin masih berlaku, tapi untuk startup pada early stage. “Memang di fase ini, mereka perlu menunjukkan growth yang kencang. Misalnya, saat mereka di tahap pendanaan seri A. Di atas itu, mereka sudah harus memikirkan value, customers, dan sebagainya dan tidak melulu cost. Yang paling penting, sudah ada path of profitability dan bahkan syukur malah sudah profit. Startup tak bisa terus bakar duit apalagi itu duitnya investor,” pungkas Eddi.

Related

award
SPSAwArDS