Dunia kini mengenal MOOCs atau Massive Open Online Courses yang merupakan sebuah konsep di mana setiap pihak dari berbagai latar belakang, baik dari kalangan universitas, komunitas maupun personal dapat membuka sebuah pembelajaran atau course yang dapat diikuti oleh banyak pihak
Dalam penelitiannya yang berjudul Posthumanism and The MOOC, Jeremy Knox mengatakan bahwa salah satu reaksi yang sering muncul saat pembelajaran online adalah “overwhelmed”. Kebanyakan dari peserta merasa tidak dapat fokus karena banyaknya orang yang terlibat. Selain itu, diskusi yang telalu panjang-lebar membuat peserta tidak mampu memahami pelajaran.
Akan tetapi, MOOCs selama ini dinilai mampu memberikan pendidikan inklusif yang menjangkau semua kalangan tanpa terkecuali. Hadir pertama kali pada tahun 2008, keberadaan MOOCs sampai saat ini memunculkan banyak reaksi, tidak hanya positif tapi juga negatif.
Berikut rangkuman pro-kontra MOOCs yang sempat dibahas Nathan Hellen dalam cover story The New Yorker berjudul LaptopU, May 2013 silam.
Pro
- MOOCS are free.
Saat ini, sebagian besar platform MOOCs tidak berbayar alias gratis. Banyak universitas memanfaatkan MOOCs untuk menarik jumlah murid, tanpa harus membangun gedung/fasiltas baru. Biaya pun disesuaikan dengan biaya SKS kampus itu.
- Force professors to improve lectures.
Karena belajar online idealnya paling lama adalah satu jam, profesor dipaksa untuk kreatif dalam menyampaikan materi (berupa video), serta memilah-milah mana yang benar-benar mesti dipelajari dan mana yang dipelajari di rumah.
- Create a dynamic archieve.
Jika aktor, musisi, dan standup comedian didorong untuk tampil maksimal saat perform, mengapa dosen tidak melakukan hal yang sama?
(Baca Juga: Dapatkah Online Learning Mendisrupsi Pendidikan Formal?)
- Designed to ensure that students keep up.
MOOCs dirancang untuk memastikan bahwa semua peserta mengikuti tahapan layaknya perguruan nyata, lengkap dengan tes dan nilai. Beberapa MOOCs memungkinkan peserta untuk mengatur sendiri ritme belajarnya, lambat atau cepat.
- Bring people together form all over the world.
Tak cuma traveling saja yang bisa bertemu degan banyak orang dari seluruh dunia, begitupun dengan MOOCs. Anda akan berkenalan dengan banyak siswa dari latar belakang dan asal yang berbeda-beda. So interesting!
Kontra
- Make discussion a challenge
Tentu menjadi sesuatu yang merumitkan untuk memfasilitasi percakapan di kelas dengan 150.000 siswa. Meskipun MOOCs dilengkapi dengan fitur chat, blog, dan forum, tetap saja keintiman komunikasi tatap muka menjadi hilang. Dan, yang paling sering terjadi adalah kesalahan memahami emosi dalam teks.
- Grading papers is impossible.
Dengan jumlah siswa yang ratusan ribu, bagaimana mungkin seorang pengajar menghabiskan waktunya hanya untuk membaca semua esai yang diberikan siswa?
- Make it easier for students to drop out.
Menurut seuah laporan di Amerika Serikat, ketika MOOCs hanya dilakukan secara online, tanpa dicampur dengan pengalaman belajar di kelas, tingkat drop out bisa mencapai lebih dari 90%.
- Miss the magic.
Peter J. Burgard, seorang profesor di Harvard memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam program kelas online, karena ia percaya “pengalaman kuliah” berawal dari duduk dalam kelompok yang memiliki interaksi satu sama lain.
“Ada chemistry pada dunia nyata yang tidak bisa direplikasi secara online,” katanya.
- Will shrink faculties, eventually eliminating them
MOOCs perlahan-lahan bisa merusak pendidikan tradisional. Siapa yang butuh profesor lagi ketika sekolah dapat mengelola kelas secara online? Lebih sedikit profesor berarti gelar Ph.D semakin sedikit diberikan.
Program pascasarjana menjadi lebih jarang, serta lebih sedikit bidang dan subbidang yang diajarkan. Pada akhirnya, kematian terjadi di seluruh hierarki pendidikan.
Editor: Sigit Kurniawan