Meskipun rata-rata okupansi nasional sempat menurun, nyatanya investasi hotel di Indonesia masih terus diminati. Tak heran, dalam beberapa tahun terakhir, bermunculan jaringan hotel lokal yang dimiliki oleh para pengusaha konstruksi, pengembang properti, hingga konglomerat dalam negeri. Bagaimana prospeknya?
Sebenarnya, hampir semua jaringan hotel lokal baru berbondong-bondong bermain di pasar hotel bintang tiga. Mengapa? Sebab, jumlah kelas menengah yang meningkat membutuhkan fasilitas hotel yang sesuai kantong mereka.
Dari sisi investasi pun, hotel bintang tiga relatif tidak terlalu besar dengan tingkat pengembalian investasi jauh lebih cepat.
PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA) misalnya, membuka jaringan hotel bintang tiga bernama Batiqa Hotels pada kuartal dua tahun lalu. Pada semester pertama tahun ini saja, perusahaan konstruksi ini telah membuka empat hotel dan akan menambah dua hotel lagi pada akhir tahun.
Semua hotel yang berkonsep batik itu mengincar daerah industri dan kota potensi wisata baru. Misalnya, Karawang, Cirebon, Bekasi, Palembang, Pekanbaru, dan Lampung.
Begitu juga dengan pengembang properti PT Intiland Development Tbk yang berharap dapat mengoperasikan 5.000 kamar hotel hingga tahun 2017 lewat jaringan hotelnya IntiWhiz. Jaringan hotel tersebut menggarap pasar MICE dan Free Independent Traveler (FIT).
Memang, dari sisi jumlah, jaringan hotel lokal masih kalah jauh dibandingkan jaringan hotel internasional macam Starwood, AccorHotels, dan InterContinental Group. Namun, dunia pariwisata yang meningkat memberikan peluang tumbuhnya operator hotel lokal agar siap menyaingi kekuatan jaringan hotel asing yang telah lama eksis.
Beberapa nama jaringan hotel lokal di antaranya Transera Hotels & Resort, Topotels, Dafam Hotels, Kagum Hotels, PHM Hospitality, Asiawood Hotel Management, hingga para jaringan hotel milik para pengembang dan konglomerasi seperti Citra Dream Hotels (Ciputra Group), Parador Hotels & Resorts (Paramount Land) dan Santika Hotels (Kompas).
Belum lagi dengan BUMN konstruksi yang juga tak mau kalah membuat jaringan hotel sendiri, seperti Adhi Karya (GranDhika Hotel) dan PP Properti (Park Hotel)
Kendati memberikan stimulus positif terhadap pertumbuhan merek hotel lokal di pasar hospitality Tanah Air, namun persaingan menjadi lebih kompleks. Pasalnya, pengembang dan konglomerat yang tadinya memakai jasa operator hotel, kini ikut membuat jaringan hotel sendiri.
Menurut Anies Heriyanto Wibowo, CEO Asiawood, para pengembang properti dan perusahaan konstruksi yang menciptakan operator hotel sendiri membuat perusahaan itu menjadi tidak fokus.
“Lalu, apa yang diraih sebagai operator? Investor itu minimal mendapat 50% dari total pendapatan. Sedangkan operator paling 7%, bahkan bisa 5%. Mengapa pusing mengurusi yang 5%, kalau bisa meningkatkan yang 50% itu?” paparnya kepada Marketeers di The Evitel Hotel Cibitung, Bekasi, Kamis, (4/8/2016).
Apalagi, lanjutnya, biaya menjadi operator tidak lah murah. Mereka harus menyiapkan berbagai keperluan, seperti tenaga kerja terlatih yang mampu mengelola dan mengembalikan investasi hotel yang telah ditetapkan oleh investor.
Salah satu alasan sederhana mengapa para investor mau membuat jaringan hotel sendiri adalah karena mereka ingin memiliki merek hotel sendiri. Padahal, Anies bilang, investor bisa menitipkan merek hotel yang diinginkannya kepada operator hotel untuk dikelola.
“Kami punya merek hotel dari investor yang kami kelola, yaitu Agora Hotel dan Select Hotel Japan. Biaya operasi investor pun jadi 0%,” tutur pria yang sebelumnya bekerja di IntiWhiz dan AccorHotels ini.
Alasan lain yang dikemukakan investor adalah mereka ingin memaksimalkan recurring income (pendapatan berulang) dari investasinya. Hal ini terjadi karena banyak operator hotel yang meleset dari target pengembalian investasi yang disepakati.
“Kalau memang masalahnya itu, sebagai investor, kalau okupansi turun, tinggal “tekan” saja operatornya supaya bekerja lebih giat lagi,” katanya.
Ia pun mengamati bahwa tren ini hanya bersifat sesaat. Sebab, akunya, sudah banyak beberapa operator hotel milik investor yang mulai gulung tikar. “Saya yakin, mereka akan kembali ke habitatnya sebagai investor,” tutur Anies.
Pria yang berkecimpung di bisnis perhotelan sejak tahun 1998 ini meyakini Indonesia masih bisa membangun 5.000 hotel baru hingga lima tahun ke depan. Mengingat, Indonesia memiliki 500 kota lapis dua. Belum lagi dengan keberadaan kota lapis satu dan ketiganya.
“Keberadaan operator seperti kami adalah untuk menyajikan hotel yang representatif dan berkelas di kota-kota nusantara yang masih didominasi oleh hotel-hotel tua dan losmen,” paparnya.
Asiawood Hotel Management kini mengoperasikan enam hotel di Indonesia dan menargetkan membuka 15 hotel hingga tahun 2018. Adapun merek hotelnya, antara lain The Evitel, Everyday Smarthotel, dan Vila Kayu Raja.
Editor: Sigit Kurniawan