Sudah bukan rahasia lagi bahwa produk smartphone asal AS, iPhone, tidak diproduksi di negara asalnya melainkan di negara pabrik dunia Tiongkok. Lewat perusahaan manufaktur elektronik Foxconn, iPhone yang kita kenal sekarang ini adalah hasil produksi para pekerja Tiongkok di tanah mereka.
Selain murah, CEO Apple Tim Cook juga memuji para pekerja Tiongkok yang dianggap lebih bisa merakit iPhone dibanding pekerja-pekerja AS. Namun, dengan diangkatnya Donald Trump sebagai presiden AS menggantikan Obama, Apple tampaknya mulai dipaksa untuk membuat iPhone di negeri sendiri. Dalam pidato inagurasinya beberapa waktu lalu Trump bahkan dengan lantang menyuarakan “Buy American and Hire American” seperti dikutip dari Nikkei Asia.
Akibatnya Foxconn juga mulai memikirkan langkah untuk membuka pabrik di AS selain di Tiongkok, demi memenuhi permintaan klien mereka Apple. Perusahaan teknologi tersebut selama ini memang menjadi sumber pemasukan utama Foxconn dengan porsi lebih dari 50%. Foxconn dikabarkan siap mengucurkan dana raksasa sebesar US$ 7 miliar untuk membangun pabrik khusus produksi layar perangkat digital di AS, juga dengan menggaet Apple.
“Apple berniat untuk investasi bersama kami dalam pabrik tersebut karena adanya kebutuhan,” ujar Chairman Foxconn Terry Gou. Ia menjanjikan bahwa nantinya pabrik Foxconn di AS akan mampu menyerap tenaga kerja 30.000 sampai 50.000. Selain itu, tingginya permintaan panel layar lebih besar membuat Foxconn berpikir lebih baik memproduksi langsung di AS daripada impor dari tanah Tiongkok dengan biaya lebih mahal.
Walau begitu di satu sisi Gou mengatakan bahwa paham proteksionisme yang dianut Trump tidak bisa dihindari. Ia juga tidak terlalu yakin konsumen AS akan mau membayar lebih mahal untuk sebuah produk consumer goods. “Di masa depan mungkin masyarakat AS akan membayar US$500 lebih banyak untuk consumer goods, tapi tidak untuk sebuah smartphone yang harga aslinya hanya US$300 saja,” tukas Gou.
Tiongkok Tidak Ditinggalkan
Rencana Foxconn menggeser produksinya ke AS tidak langsung membuat pabrik mereka di Tiongkok ditinggalkan. Bagi Gou pasar Negeri Tirai Bambu masih menjadi pasar kunci dan akan meneruskan investasinya di sana. “Tiongkok adalah pasar terbesar di dunia, kenapa harus pergi dari sana?!” sambung Gou.
Selama ini, di pabrik mereka di Tiongkok, Foxconn mampu memproduksi sekitar 100 juta perangkat untuk Apple setiap tahun di Zhengzhou. Pasar di sana pun besar bagi Apple karena sekitar 19% pemasukan mereka secara global datang dari Tiongkok, termasuk Taiwan dan Hong Kong berdasarkan laporan keuangan yang berakhir pada September.
Padahal, sebenarnya walau masih terhitung besar, pasar Apple di Tiongkok menurun cukup signifikan sebesar 30% setahun. Namun, Cook tetap optimis mampu terus bertahan. “Secara jangka panjang kami sangat yakin dengan pasar Tiongkok. Kelas menengah mereka booming walau pertumbuhan ekonomi mereka mulai menemukan tren normal setelah pertumbuhan sangat cepat. Namun, tetap saja pertumbuhan mereka masuk dalam kategori sangat bagus,” ungkap Cook.
Gou menyatakan bahwa rencananya untuk “membelot” ke AS tidak membuat perusahannya dalam tekanan. Justru ia melihatnya sebagai kesempatan bagus dengan berinvestasi di kedua negara kekuatan ekonomi tersebut. Andai rencana Foxconn dan Apple terealisasi, produk iPhone di AS akan terhidar dari kebijakan tarif impor sebesar 45% dari Tiongkok dan Mexico yang direncakan segera diberlakukan oleh Trump.
Editor: Eko Adiwaluyo