Musisi dan Ketua Umum Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), Satrio Yudi Wahono atau biasa dikenal Piyu Padi, menyampaikan keresahannya tentang ketimpangan yang dialami pencipta lagu dibanding pelaku pertunjukan di industri musik Tanah Air.
Gitaris grup band Padi ini menjelaskan bahwa AKSI hadir untuk memperjuangkan hak kekayaan intelektual (HKI) para pencipta lagu, terutama terkait literasi, advokasi, dan keadilan atas karya mereka.
“AKSI adalah asosiasi pencipta lagu murni. Kami memperjuangkan literasi dan advokasi untuk para pencipta, terutama terkait performing right,” ujar Piyu dalam siaran podcast JackPod yang dibawakan oleh CEO MarkPlus, Inc. Jacky Mussry di Bubur Ting Hao, Jakarta Selatan, Sabtu (23/11/2024).
Ketimpangan Penghasilan Pencipta Lagu dan Pelaku Pertunjukan
Di kesempatan itu, Piyu Padi menyoroti adanya disparitas yang signifikan antara penghasilan pencipta lagu dan artis yang membawakan karya tersebut.
Ia mencontohkan kasus anggota AKSI, Denny Casmala, pencipta lagu ‘Berharap Tak Berpisah’ yang dipopulerkan Reza Artamevia.
BACA JUGA: 20 Istilah dalam Industri Musik yang Perlu Dipahami Penggemar Musik
“Reza Artamevia bisa dibayar Rp 100-200 juta sekali manggung, sedangkan Denny Chasmala, yang menciptakan lagunya, tidak mendapat apa-apa dari hasil pertunjukan itu,” jelas Piyu Padi.
Ia menilai, hal ini terjadi karena royalti performing right yang seharusnya dikumpulkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) tidak sepenuhnya sampai ke pencipta.
“Saya sendiri pernah mendapatkan royalti hanya 300 ribu dari belasan konser yang saya lakukan dalam sebulan,” kata dia.
Sejarah Ketidakadilan Bagi Pencipta Lagu
Piyu Padi juga memaparkan bahwa ketidakadilan ini sudah berlangsung sejak lama. Di era 70-an dan 80-an, pencipta lagu hanya dibayar dengan sistem flat pay atau beli putus oleh perusahaan rekaman.
Sistem ini membuat pencipta kehilangan hak ekonomi mereka atas lagu yang telah dijual.
BACA JUGA: Jazz Gunung Bromo 2024, Contoh Sukses Sinergi Musik dan Pariwisata
“Dulu, pencipta lagu hanya dibayar Rp 5 juta untuk karya mereka, dan itu berlaku seumur hidup. Hak mereka langsung dimiliki oleh perusahaan rekaman,” katanya.
Baru pada akhir 90-an, tata kelola royalti mulai berubah dengan masuknya perusahaan rekaman asing seperti Kyson Music, EMI, dan Warner. Namun, menurut Piyu, praktik ketidakadilan masih terus berlangsung.
Harapan Melalui Regulasi yang Lebih Kuat
Piyu berharap regulasi seperti PP 56 tentang royalti dapat diterapkan dengan lebih baik, terutama dalam hal pengumpulan dan distribusi royalti oleh LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional).
“Menurut aturan, royalti sebesar 2% dari tiket atau total produksi pertunjukan seharusnya dikumpulkan untuk pencipta lagu. Namun, sampai saat ini, banyak pencipta tidak menerima hak mereka secara layak,” tegas Piyu.
Ia mengajak semua pihak untuk lebih peduli terhadap hak pencipta lagu dan mendukung keadilan dalam industri musik.
“Disparitas yang besar ini harus diselesaikan agar pencipta lagu bisa mendapatkan hak mereka sesuai dengan kontribusi terhadap karya,” tutupnya.
Editor: Eric Iskandarsjah Z