Kapal pinisi yang tengah berlayar menjadi Google Doodle, Kamis (7/12/2023). Ini merupakan bentuk perayaan ketika kapal ini pertama kali diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya takbenda pada tahun 2017.
Kapal pinisi merupakan perahu layar tradisional yang berasal dari Suku Bugis di Sulawesi Selatan. Lebih tepatnya, perahu yang sudah ada sejak abad ke-14 itu sebagian besar dibuat di Tana Beru.
Daerah tersebut bahkan sampai mendapat julukan Butta Panrita Lopi atau Tanah dari Layar Kapal Pinisi. Kapal ini pun menjadi kebanggaan bagi Kesultanan Makassar, sekaligus membuat masyarakat Sulawesi dikenal sebagai pelaut ulung.
Dedi Arsa dalam Pinisi si Kapal Ajaib (2017) menjelaskan bahwa mulanya, kapal pinisi dibuat untuk meminang Putri Tiongkok. Putra Mahkota Kerajaan Luwu, Sawerigading, adalah orang pertama yang membuat kapal pinisi.
Ia menggunakan perahu itu untuk berlayar menuju Cina karena ingin meminang Putri Tiongkok, We Cudai. Setelah lama menetap di sana, Sawerigading pun kembali ke kampung halamannya menggunakan kapal pinisi yang sama.
Namun, malang bagi sang pangeran. Menjelang sampai di kampungnya, kapal itu diterjang gelombang besar hingga terbelah menjadi tiga. Pecahan-pecahan itu akhirnya terdampar di tiga desa berbeda.
BACA JUGA: Mengenal Dr Victor Chang yang Jadi Google Doodle, Seorang Ahli Bedah Jantung
Masyarakat di ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal itu menjadi perahu kembali. Masing-masing kampung lantas membuat badan kapal, merancang layar, dan merakit bagian-bagian itu.
Dalam bentuk utuhnya, kapal pinisi memiliki dua tiang layar utama dengan tujuh buah layar. Itu mengandung makna filosofis, bahwasanya nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengarungi tujuh samudra di dunia.
Ritual sebelum Membuat Pinisi
Sampai saat ini, kapal pinisi masih terus diproduksi, entah itu untuk menangkap ikan atau dijadikan kapal pesiar mewah. Namun, sebelum membuat perahu ini, ternyata para pembuat pinisi mengadakan ritual terlebih dahulu.
Ritual tersebut dinamakan pemotongan lunas. Ini bertujuan agar pengerjaan berjalan lancar, sehingga tidak ada kecelakaan atau hal-hal buruk lainnya yang menimpa pekerja.
Ritual dimulai dengan mengisi bagian paling dasar pada kapal dengan berbagai macam makanan, mulai dari kue-kue manis serta seekor ayam jago putih. Jajanan manis itu merupakan simbol keinginan sang pemilik agar kapalnya mendatangkan banyak keuntungan.
Sementara itu, darah ayam jago putih ditempelkan pada lunas. Hal ini sebagai simbol harapan agar nantinya tak ada darah tertumpah selama proses pengerjaan, mengingat para pembuat pinisi bekerja dengan alat-alat tajam.
Setelah darah hewan dicipratkan dan kue-kue dibagikan, kepala tukang pembuatan kapal akan memotong lunas sembari menghadap Timur Laut. Pemotongan harus dilakukan sekaligus tanpa henti, sehingga mesti menggunakan gergaji yang sangat tajam.
BACA JUGA: Jadi Google Doodle, Mengenal Papeda sebagai Kuliner Khas Papua
Potongan ujung lunas bagian depan lantas dibuang ke laut sebagai simbol kapal akan menyatu dengan lautan. Sedangkan, potongan lunas bagian belakang akan dibuang ke daratan sebagai tanda bahwa saat kapal melaut akan kembali ke daratan.
Ritual pun dilanjutkan dengan berdoa bersama kepada sang Pencipta. Belum selesai di situ, setelah kapal pinisi rampung, upacara adat kembali dilangsungkan. Upacara ini dinamakan Maccera Lopi, yang berarti menyucikan perahu.
Ketika prosesi penurunan perahu ke laut, dilakukan penyembelihan kambing atau sapi. Jika perahu pinisi itu memiliki berat kurang dari 100 ton, maka binatang yang disembelih adalah seekor kambing.
Namun, bila beratnya lebih dari 100 ton, maka binatang yang disembelih ialah seekor sapi. Kalau hewan yang dipotong berupa kambing, pemotongan dilakukan di atas kapal. Sementara itu, jika yang dipotong adalah sapi, cukup dilakukan pemotongan di depan kapal.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz