Jalan Keluar Startup dari Jebakan Mantra Growth at All Costs

marketeers article
Ilustrasi. (FOTO: 123rf)

Saat ini merupakan momentum tepat bagi startup di Indonesia untuk mawas diri dan melakukan koreksi. Salah satu koreksinya adalah tidak menjadikan growth sebagai satu-satunya matriks kesuksesan sebuah startup. Entah itu pertumbuhan jumlah pengguna, volume karyawan, pendapatan, gross merchandise value (GMV), dan sebagainya.

Dengan orientasi tersebut, mantra growth at all costs yang pernah menjadi buzzword di kalangan startup perlu ditinjau kembali. Matriks pertumbuhan tersebut memang tetap diperlukan, namun tidaklah mencukupi. Startup perlu juga menyusun path of profitability, memikirkan burn rate, cost, return of investment, dan sebagainya. Artinya, mantra growth at all costs alias bakar duit demi meraih pertumbuhan, dari mengakuisisi user dan merekrut karyawan sebanyak-banyaknya hingga promosi gede-gedean, kurang relevan lagi.

Menurut Eddi Danusaputro, Ketua Umum Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) dan CEO Mandiri Capital Indonesia (MCI) mengatakan, growth at all costs mungkin masih berlaku, tapi untuk startup dalam early stage.

“Memang di fase ini, mereka perlu menunjukkan growth yang kencang. Misalnya, saat mereka di tahap pendanaan seri A. Di atas itu, mereka sudah harus memikirkan value, customers, dan sebagainya. Artinya, tidak melulu cost. Paling penting, sudah memiliki path of profitability dan syukur-syukur sudah menuai profit. Oleh karena itu, startup tak bisa terus bakar duit apalagi itu duitnya investor,” kata Eddi kepada Marketeers.

Dengan demikian, konsep keberlanjutan sebaiknya diterapkan oleh startup sejak awal. Eddi menyebut tidak perlu tancap gas sekencang-kencangnya, mentang-mentang dapat pendanaan, dengan merekrut karyawan sebanyak-banyaknya dengan gaji besar, promosi besar-besaran, rilis produk-produk baru. Sehingga tidak perlu melakukan mengerem mendadak ketika terjadi masalah dengan terpaksa melakukan efisiensi.

Growth dan Cash Flow Harus Seimbang

Hal senada juga disampaikan oleh Amir Karimuddin, Editor-in-Chief DailySocial.id. Menurutnya, startup di Indonesia saat ini sudah sepantasnya untuk memikirkan keberlanjutan bisnis di masa depan. Mereka perlu memperhatikan sistem pengelolaan bisnis secara prudent dan tata kelola perusahaan yang solid dan berkelanjutan.

“Dengan kondisi seperti sekarang, para startup tidak perlu lagi untuk mendewakan growth sebagai satu-satunya matriks kesuksesan. Agar runway mereka tetap terjaga, mereka harus mulai fokus pada sustainability. Mau tak mau, dengan kondisi sekarang ini, mereka perlu memperhatikan asas prudential, likuiditas, dan sustainability yang mungkin akan menjadi buzzword-buzzword baru di kalangan startup saat ini,” kata Amir.

Pengelola startup, lanjut Amir, sebaiknya bisa membangun keseimbangan antara growth dengan cash flow. Saat ini, para VC juga mulai melihat cash flow positif sebagai standar tujuan baru di kalangan startup agar tidak terseok-seok saat menghadapi situasi sulit. Meski demikian, Amir merasa hal tersebut tak gampang diwujudkan oleh startup di saat-saat awal. “Menyeimbangkan antara growth dan cash flow akan menjadi norma bagi startup. Meski valuasinya rendah, matriks kesuksesannya juga berubah,” katanya.

Amir mengingatkan para startup juga fokus pada solusi yang ingin ditawarkan kepada masyarakat. Solusi tersebut menjadi salah satu hal yang terus diwujudkan dan dikembangkan bila startup tersebut terus eksis di masa mendatang. “Dalam tren ke depan, layoff mungkin saja masih akan terjadi sebagai salah satu langkah yang diambil agar bisnis startup tetap survive. Namun, perlu juga untuk melakukan reorganisasi maupun restrukturisasi untuk bisa bertahan hidup, paling tidak untuk satu atau dua tahun ke depan,” katanya.

Eddi juga menekankan startup tak perlu kehilangan karakternya saat mengadopsi tata kelola bisnis yang baik (good governance) maupun prudent seperti yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan konvensional yang berkelanjutan. Idealnya memang kombinasi. Tidak sepenuhnya kultur startup, tetapi juga tidak sepenuhnya kultur korporasi konvensional.

“Kita harus menghargai kultur startup yang mana everything is speed. Moto di kalangan startup adalah lebih gampang minta maaf ketimbang minta izin. Artinya, jalani saja dulu dan bila akhirnya kena jewer dari regulator juga tidak apa-apa karena memang kulturnya seperti itu,” pungkas Eddi.

 

Related