Limbah dan sampah bisa menjadi sebuah berkah. Walau keduanya berbahaya, namun bisa menjadi sumber rezeki jika kita pandai mengolahnya.
Pada tahun 2015, Ronaldiaz Hartantyo bersama empat temannya, yaitu Adi Reza Nugroho, Robbi Zidna Ilman, Arekha Bentang, dan Annisa Wibi melakukan eksperimen. Bagaimana caranya agar limbah dari sekam padi, kelapa, kepala sawit dan tapioka bisa berguna. Selama ini, limbah-limbah itu hanya menumpuk, dibuang sembarangan, dan merusak lingkungan. “Saya melakukan eksperimen dengan jamur sehingga limbah bisa menjadi produk yang berguna,” kata Ronaldiaz, Co-Founder MyCotech.
Ronaldiaz melakukan berbagai percobaan dari waktu ke waktu. Modal sebesar Rp 50 juta dia keluarkan untuk menemukan resep terbaik untuk pengolahan limbah. Metode yang digunakan terinspirasi dari pengolahan kacang kedelai menjadi tempe.
“Hanya posisi diganti limbah. Tapi modal uang itu tidak lama juga habis. Modal senilai itu seakan tidak berarti apa-apa,” kata alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Setelah melakukan berbagai eksperimen, akhirnya Ronaldiaz menemukan sebuah reseo. Dengan komposisi 80% berupa limbah dan 20% jamur, Ronaldiaz dan teman-temannya bisa membuat bahan material yang ringan namun kokoh. Bentuknya mirip batu batu atau hebel. Bedanya ukuran dan ketebalan produk ini bisa dikustomisasi. “Saya menjamurkan limbah yang ada,” katanya.
Pada awalnya, bukan hal yang mudah bagi Ronaldiaz untuk memasarkan produk layaknya material untuk tembok itu. Sebab, meski lebih ringan, bisa dibentuk dengan ukuran berapa saja, kuat, dan memiliki dampak positif bagi lingkungan, batu bata ala Mycotech harganya lebih mahal. “Sebenarnya bukan mahal. Tapi memang harga batu bata di Indonesia yang terlalu murah,” katanya.
Walau kurang mendapat sambutan di Indonesia, bahan material bangunan Mycotech cukup mengundang tanya dari dunia luar. Bekerja sama dengan ETH Zurich, Mycotech melakukan uji coba karena undangan sebuah perusahaan asal Korea Selatan. Mereka diminta membuat sebuah bangunan yang dapat menopang bobot hingga 12 ton. Dan, Ronaldiaz bisa membuktikan bahwa produknya memang memiliki kualitas yang sangat baik.
Agar bisa menjangkau masyarakat lebih luas, Ronaldiaz memutar otak dan terus melakukan inovasi. Hasilnya dia bisa menghasilkan lembaran kulit yang kualitas dan teksturnya mirip kulit mentah yang biasanya diperoleh dari binatang. Namun, produk kulit Mycotech bernama Mycelium Leather ini memiliki banyak kelebihan. Yaitu lebih cepat diproduksi karna berasal dari limbah. Untuk membuat material kulit ukuran berapa pun, hanya dibutuhkan waktu 14 hari. Bandingkan jika petani mengolah dari kulit binatang yang butuh waktu setidaknya dua tahun.
Konsumsi air yang dibutuhkan juga sangat sedikit, yaitu 1 liter. Bandingkan dengan kulit binatang yang membutuhkan air hingga 144 liter. Mycelium Leather ini juga lebih ringan dan murah biaya pengolahannya. Emisi CO2 yang dihasilkan juga jauh lebih rendah.
Belum lagi, produk ini mengolah limbah yang ada. Tidak seperti kulit binatang yang justru menghabiskan sumber daya alam yang ada. “Jika bahan bangunan sangat business to business sekali. Lewat Mycelium Leather, saya berkolaborasi dengan pengrajin usaha kecil dan menengah (UKM),” kata Ronaldiaz.
Selain memberikan solusi baru, Mycotech juga bisa memperkuat branding mereka di kalangan konsumen individual. Sebab, para UKM itu mengolah Mycelium Leather menjadi berbagai produk yang langsung bersentuhan dengan konsumen individual, seperti dompet, sepatu, tas, hingga jam. “Kami sudah memiliki 20 rekanan yang mengolah kulit kami menjadi barang jadi,” katanya.
Saat ini, Mycotech memiliki pabrik di Lembang, Bandung. Mycotech juga berkolaborasi bersama 20 petani yang membantu mengumpulkan limbah. Mereka bisa memproduksi 1.000 m2 Mycelium Leather setiap bulannya. Harganya jualnya sekitar US$ 5 per m2. Bandingkan dengan harga kulit binatang yang berkisar US$ 5-US$ 200 per m2.
Walau sudah menemukan resep terbaik, Ronaldiaz mengatakan dirinya terus berinovasi. Berbagai agenda pun menjadi perhatiannya pada tahun ini. Yaitu bagaimana agar standarisasi, optimalisasi, dan sertifikasi bisa mereka dapatkan. “Kami terus mencari feedback dari pasar dan terus melakukan penyempurnaan,” katanya. Selain ETH Zurich, saat ini Mycotech juga mendapatkan dukungan dari sejumlah lembaga riset seperti National University of Singapore dan Future Cities Lab.
Bahkan, Mycotech terpilih sebagai tenant asal Indonesia yang hadir pada ajang DBS Marina Regatta di Singapura pada tanggal 31 Mei-2 Juni. Produk mereka dianggap mampu memberikan dampak positif bagi lingkungan dan manusia yang ada di dalamnya. Sebelumnya, Ronaldiaz CS dan Mycotech juga mendapatkan bantuan dana dari DBS Foundation Grant 2018 dan terpilih menjadi startup terbaik pada kategori social entrepreneurship.