Artikel ini ditulis oleh Rahmatullah Akbar, Head of Content dari SAC Indonesia, salah satu 360 communication agency di Jakarta yang merupakan bagian dari ekosistem GDP Venture.
Sebut saja namanya Rudi, seorang fresh graduate yang mulai dari wisuda, proses rekrutmen hingga dimarahi oleh bosnya ia alami secara virtual. Sebagai first jobber angkatan pandemi, hingga saat ini Rudi belum pernah mencicipi sesaknya pakai dasi atau ngopi santai di pantry. Sudah hampir setahun rudi merasa hidupnya hanya berulang dan berjalan ditempat, semua ia lakukan di depan laptop dan gawainya mulai dari bekerja, bermain, hingga mencari pujaan hati.
Berbagai cara juga telah dilakukan Rudi untuk membuat dirinya waras, mulai dari bercocok tanam, belajar bikin kopi hingga bermain Mobile Legends yang jadi hiburan favorit barunya belakangan ini. Namun, hingga saat ini belum ada yang benar-benar bisa membuat Rudi sebahagia dulu sebelum pandemi terjadi.
Cerita Rudi diatas memang fiktif tetapi mungkin ada satu atau dua hal yang nyata terjadi di kehidupan kita saat ini. Pandemi mengubah segalanya dan membuat kita sangat bergantung pada gawai ataupun perangkat digital lainnya, perubahan perilaku ini membuat banyak pelaku industri baik jasa ataupun barang berbondong-bondong memfokuskan kegiatan pemasarannya melalui kanal digital, alhasil konsumen dibanjiri konten, iklan dan promosi yang berlomba menarik perhatian dengan berbagai angle komunikasi dan penawaran relevan.
Kita bisa melihat bagaimana produsen susu ataupun suplemen anak berkompetisi meyakinkan konsumen jika produk merekalah yang terbaik dengan manfaat imunitas. Contoh lain misalnya di kategori beauty yang ramai mengangkat tema self-care agar produk makeup mereka tetap relevan di saat kosumen jarang keluar rumah. Dan berbagai contoh lainnya yang penulis yakin pelaku pemasaran dan periklanan pasti dapat membaca gerak-gerik dan gaya pemasaran semacam ini.
Relevansi memang harus terus dicari dan dikomunikasikan, tetapi tidak jarang pemilik merek terkecoh dan melupakan brand purpose, positioning serta product role ketika mencoba berkomunikasi secera relevan dalam konteks pandemi, sehingga ketertarikan khalayak yang terpapar konten ataupun iklan tidak secara efektif terkonversi menjadi konsiderasi apalagi penjualan.
Mari kita buat contoh imajiner, sebuah merek X di kategori minuman teh kemasan yang selama ini mengkomunikasikan dan memposisikan produknya sebagai teh kemasan yang rendah kalori, ringan, dan cocok diminum kapanpun. Melihat esports sedang digandrungi, tim pemasaran merek tersebut merasa bahwa dengan mengendarai esports dapat menjadikan merek mereka relevan dimasa pandemi dan menarik lebih banyak konsumen muda. Singkat cerita, mereka mengadakan sebuah turnamen esports dan mempublikasikan beragam konten esports di kanal media sosial mereka.
Saat kampanye berjalan, followers dan engagement-rate media sosial mereka meningkat pesat namun saat dilakukan post-campaign analysis ternyata brand consideration dan penjualan tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Alhasil direktur pemasaran teh kemasan tersebut mengambil kesimpulan premature, jika minuman teh kemasan tidak dapat relevan dengan esports dan mengganggap esports bukan kendaraan yang tepat untuk menarik konsiderasi dan penjualan produk.
Dari contoh imajiner diatas, penulis ingin menyampaikan pesan sederhana, yaitu “Jangan Asal” dan beberapa checklist agar pelaku pemasaran ataupun periklanan dapat mendesain sebuah kampanye ataupun konten dengan relevan tanpa kehilangan arah dan tujuan:
Pastikan anda tidak terbawa arus ketika Riding the Wave
Banyak dari pelaku pemasaran dan periklanan yang melupakan keselarasan antara ide kampanye dan konten dengan product role sehingga hanya berhasil pada tingkat awareness namun tidak membawa khalayak ke tahap selanjutnya. Jika berkaca pada contoh imajiner diatas seharusnya teh kemasan dengan positioning low calorie tersebut dapat melakukan kampanye hidup sehat bagai para penggila esports bukan hanya mengadakan turnamen tetapi juga dapat mengedukasi khalayak esports akan pentingnya kesehatan, sehingga konten apapun yang dipublikasikan dapat ditarik kembali ke asal komunikasi merek yang menggaungkan pentingnya minuman teh kemasan rendah kalori. Bahkan turnamennya pun dapat dibuat sangat relevan dengan ide rendah kalori. Anda tetap harus tahu cara mengarahkan khalayak ketika riding the wave dan pastikan konten atau kampanye yang dibuat tetap berdasarkan product positioning yang ada.
Consumer Journey adalah kunci
Apapun media komunikasinya, baik Instagram, tiktok atau youtube sekalipun consumer journey tetap harus diperhatikan. Pertanyaan sederhananya adalah “What’s Next” memastikan semua konten dan materi kreatif yang dibuat memiliki tujuan atau call-to-action yang jelas agar kita tidak kehilangan kesempatan mengarahkan khalayak ke konsiderasi atapun penjualan ketika mereka terpapar oleh konten yang kita buat.
Kapabilitas targeting yang semakin canggih harus dapat digunakan semaksimal mungkin untuk memastikan khalayak dapat terus engage dan melewati tahap-tahap komunikasi yang kita desain. Sebut saja teknik retargeting/remarketing yang mana hampir semua penyedia platform seperti Facebook dan Google memiliki kapabilitas retargeting tersebut.
Memperhatikan consumer journey juga akan menginspirasi kita untuk mendesain ide atapun taktik yang relevan disetiap tahap perjalanan konsumen misalnya, jika kembali mengambil contoh kasus imajiner diatas, merek teh kemasan tersebut dapat membuat sebuah produk kolaborasi dengan tim esports ternama dengan bentuk produk kemasan khusus atapun bundling promo yang mana ide tersebut memungkinkan kita untuk melakukan retargeting terhadap khalayak yang terpapar dan menarik penjualan dengan promosi yang relevan.
Mengukur dengan tepat dan pentingnya plan B
Seringkali pemasar melakukan kesimpulan prematur ketika eksperimen Riding The Wave tidak sesuai dengan ekspektasinya. Ada dua hal yang mungkin sebenarnya terjadi. Pertama adalah salah menentukan pengukuran keberhasilan dan yang kedua adalah tidak tersedianya plan B.
Mari kita bahas dengan contoh imajiner diatas. Dengan mengadakan turnamen dan konten bertemakan esports pemasar tersebut mengharapkan peningkatan penjualan tanpa adanya taktik promosi yang relevan, sehingga tentu saja kampanye tersebut dianggap gagal karena ketidakselarasan antara taktik dan pengukuran.
Dan yang kedua adalah tidak tersedianya plan B, seharusnya pemasar dapat menyiapkan plan B, misalnya dari data user yang ikut serta turnamen tersebut dapat dimanfaatkan kembali untuk kampanye selanjutnya yang tetap dalam ranah esports namun hadir dalam bentuk yang lebih sesuai dengan positioning brand tersebut.
Hati-hati backfire dan waspadai kebebasan netizen
Belakangan ini terjadi keramaian di media sosial saat salah satu merek perlengkapan outdoor lokal memberikan surat keberatan kepada seorang youtuber hanya karena video review yang dibuatnya dinilai kurang baik secara kualitas. Mendapati surat keberatan yang mengganggu kebebasan berpedapat, Youtuber itu pun mengunggahnya di media sosial dan langsung di respon oleh netizen dengan berbagai cibiran pedas.
Banyak sekali merek yang mencoba untuk riding the wave kehebohan tersebut dengan membuat konten antitesisnya, mengajak khalayak untuk bebas memberikan review terhadap merek tersebut. Namun, kejadian menyedihkan terjadi kepada salah satu penyedia layanan internet di Indonesia bukannya mendapat simpati, penyedia layanan internet itu justru menjadi bulan-bulanan netizen yang menggungkapkan kekecewaannya hingga akhirnya posting-an dihapus.
Empat checklist diatas hanyalah sedikit dari banyak pembelajaran yang dapat kita ambil dari berbagai konten ataupun kampanye riding the wave yang marak dilakukan pemasar ataupun pembuat konten belakangan ini. Penulis berharap pembaca Marketeers dapat memahami konsep “jangan asal” dengan baik sehingga dapat merancang konten ataupun kampanye yang relevan namun tetap dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan merek dan penjualannya.