Pasca Grab mengakuisisi bisnis Uber di Asia Tenggara, tak lantas membuat sejumlah otoritas pemerintah di negara ASEAN senang. Justru, Pemerintah Malaysia menyoroti adanya praktik monopoli di bisnis transportasi online yang bisa merugikan pengguna.
Di lansir dari Reuters, Pemerintah Malaysia melalui Komisi Transportasi Publik Malaysia (SPAD) dan Komisi Kompetisi Malaysia (MyCC) tengah mendalami apakah benar akuisisi Grab terhadap Uber melanggar aturan persaingan usaha di sana. Yang menjadi perhatian mereka adalah soal tarif transportasi daring yang akan melonjak serta pelayanan yang semakin rendah.
“Kami ingin memastikan bahwa akuisisi itu tidak berdampak pada tarif Grab yang akan meningkat, dan berujung merugikan pelanggan,” ujar Menteri Departemen Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Nancy Shukri
Pasalnya, Uber yang mengaku merugi beroperasi di Asia Tenggara pastinya ingin mengeruk keuntungan pasca akuisisi tersebut. Apalagi, Uber saat ini mengempit saham di Grab sebanyak 27,5% atau senilai US$ 6 juta.
Sebelumnya, seruan senada juga bergulir di tanah kelahiran Grab, Singapura. Otoritas pemerintah di sana juga mengkritisi akuisisi tersebut dan memberikan pernyataan bahwa Grab berpotensi melanggar undang-undang terkait ‘persaingan usaha’.
Nasib Grab di Indonesia
Di Indonesia, akuisisi Grab terhadap Uber nampaknya tak memberikan rambu kuning bagi pemerintah. Sebab, negeri ini memiliki satu jawara lokalnya, yaitu Go-Jek yang mengaku telah memiliki sekitar 900.000 ojek alias pengemudi.
Kendati terkesan adem-adem ayem, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) telah mengkaji dampak akuisisi tersebut. KPP mencatat bahwa jumlah pengguna aplikasi Grab dan Uber masih kalah jauh dari Go-Jek, atau secara berturut-turut sebesar 14,69% dan 6,11%. Sebagian besar pasar tersebut masih dipegang oleh Go-Jek yang menguasai 79,2%.
Yang menjadi kekhawatiran Grab justru akuisisi tersebut tak lantas membuat pengemudi Uber beralih ke Grab. Ribuan pengemudi memutuskan untuk pindah ke Go-Jek ketimbang Grab. Sebab, di Grab, mereka diwajibkan untuk uji berkendara dengan kesempatan tiga kali percobaan. Jika gugur, mereka harus mendaftar ulang dan mengikuti pelbagai tes. Hal tersebut dianggap merepotkan pengemudi Uber.
Dikutip dari Jawapos, Nasrul, supir Uber mengaku pindah haluan ke Go-Jek karena dianggap prosedur pendaftarannya lebih mudah. Ia menganggap akuisisi itu seharusnya hanya pengalihan aplikasi pengemudi dari Uber ke Grab.
“Akan tetapi, kami (pengemudi Uber) mesti mendaftar seperti pengemudi baru dan bahkan harus membayar Rp 100 ribu sebagai saldo Grab. Jika gagal uji kendaraan, uangnya hangus,” ujar dia.
Editor: Sigit Kurniawan