Jangkauan Telemedisin Harus Diperluas ke Seluruh Indonesia

marketeers article

Telemedicine atau sebagian menyebutnya dengan telemedisin semakin mendapat tempat di era pandemi. Telemedisin yang merupakan penerapan teknologi untuk pelayanan medis ke pasien, seperti konsultasi,  diyakini sebagai sebuah terobosan dalam pelayanan kesehatan. Bahkan, Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan Surat Edaran terkait praktik telemedisin.

Menurut Staf Khusus Menteri Kesehatan Alexander Ginting, telemedisin bisa digunakan untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Masyarakat tidak harus datang ke RS untuk melakukan tes Covid-19.

“Kami meminta bantuan dari Ikatan Dokter Indonesia dan juga Asosiasi Telemedisin untuk menyosialisasikan praktik telemedisin ini ke seluruh Indonesia. Kami juga minta startup telemedisin untuk tidak hanya fokus di pulau Jawa dan Sumatera. Telemedisin harus menjangku seluruh masyarakat terutama yang berada di wilayah tertinggal,” kata Ginting dalam webinar bertema,  Tantangan Pelayanan Kesehatan di Masa Depan yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Katadata, di Jakarta.

Ia menambahkan Kementerian Kesehatan sudah membangun ekosistem digital antara lain dengan membuat aplikasi yang bisa menghubungkan RS rujukan dan puskesmas. Aplikasi itu juga bisa memberikan informasi tak hanya tentang orang yang sakit, tetapi juga jumlah tempat tidur yang tersedia.

Namun, ekosistem yang dibangun Kemenkes tak cukup karena harus dibantu sektor swasta. Karena itu, Kemenkes mengimbau startup telemedisin untuk tidak hanya fokus di pulau Jawa dan Sumatera, tapi juga di daerah terpencil dan terbelakang.

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih mengatakan, ada tiga hal yang penting dalam konsep digital health. Pertama, infrastruktur internet harus memadai. Tenaga kesehatan juga harus melakukan kolaborasi dengan startup, komunitas faskes dan farmasi dalam satu ekosistem digital.

Kedua, integrasi telemedisin, yaitu pelayanan kesehatan yang terkomputerisasi serta tenaga medis yang menguasai dan paham akan literasi teknologi. Ketiga, adanya electronic medical record, yaitu sistem informasi terintegrasi kerahasiaan pasien.

Daeng melanjutkan, saat ini belum ada regulasi khusus soal telemedisin. Dasar penerapannya hanya berpegang pada Surat Edaran Menteri Kesehatan dan juga Konsil Kedokteran. “Karena itu, IDI berharap pemerintah sgera membuat aturan permanen terkait telemedisin,” katanya.

Ia menambahkan IDI mendorong seluruh perhimpunan untuk menentukan pelayanan apa yang pantas secara etik dan hukum yang bisa dilakukan telemedis. Misalnya, tindakan yang memerlukan pemeriksaan dengan alat tertentu, tindakan gawat darurat tidak bisa dilakukan telemedisin.

“Hal yang ringan seperti pengiriman data, konsultasi mungkin bisa dilakukan. Perhimpunan kedokteran diharapkan bisa memetakan dan memberi masukan ke pemerintah sebagai regulator untuk memutuskan mana yang memungkinkan dan mana yang tidak,” kata Faqih.

Terkait telemedisin, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan, pemerintah terus berupaya mencari terobosan penanganan Covid-19 yang efektif. “Salah satunya melalui pengembangan solusi kesehatan dengan mengggunakan teknologi seperti telemedisin,” katanya.

Johnny  mengungkapkan, berdasarkan data dari McKinsey, 44% responden beralih dari tatap muka dengan dokter ke daring di masa pandemi. Mengutip dari Katadata, kunjugan ke aplikasi telemedisin juga melonjak 600% di masa pandemi.

Untuk itu, ia berharap layanan telemedisin bisa mencapai wilayah 3T, yaitu tertinggal, terdepan, dan terluar di seluruh Indonesia. “Harus ada kerja sama lintas kementerian antara Kominfo, Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, Asosiasi Telemedisin Indonesia (Atensi) dan juga seluruh ekosistem untuk bisa mewujudkan telemedisin ke seluruh wilayah Indonesia,” ungkapnya.

    Related

    award
    SPSAwArDS