Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersama dengan aktivis lingkungan di seluruh dunia menuntut Jepang menghentikan pendanaan terhadap energi kotor. Para aktivis menyatakan penolakan terhadap Japan Bank for International Cooperation (JBIC) yang masih mendanai proyek gas dan LNG yang memberi dampak lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Protes bersama dilakukan oleh berbagai kelompok garis depan di Indonesia, Filipina, Thailand, Bangladesh, Amerika Serikat (AS), Mozambik, Kanada, dan Australia. Ini merupakan upaya untuk menarik perhatian para pemimpin negara G7 terhadap ketidakadilan akibat dukungan Jepang pada proyek-proyek yang mengancam keanekaragaman hayati, mata pencaharian, dan keselamatan masyarakat.
BACA JUGA: Genjot EBT, Pertamina Geser Kontribusi Pendapatan Energi Fosil hingga 60%
“Ada pola kerusakan yang jelas dalam proyek-proyek gas dan LNG yang dibiayai oleh JBIC. Hal ini merupakan bencana bagi perubahan iklim dan terlebih lagi bagi mata pencaharian, kesehatan, dan keamanan masyarakat lokal, keanekaragaman hayati, dan hak asasi manusia,” kata Fanny Tri Jambore, Kepala Divisi Kampanye Walhi melalui keterangannya, Jumat (26/4/2024).
Fanny menuding Jepang telah menggunakan dana publik untuk mendukung imperium gas sambil berusaha menyamarkan LNG sebagai alternatif yang lebih bersih dibandingkan batubara. Namun, pada kenyataannya tidak demikian, gas bisa sama buruknya dengan batubara bagi iklim.
BACA JUGA: Gandeng JERA, PLN Kembangkan Bisnis Energi Primer dari Gas
“Proyek-proyek gas dan LNG yang didanai JBIC di Indonesia seperti PLTGU Jawa-1 di Jawa Barat, LNG Donggi-Senoro di Sulawesi Tengah, dan LNG Tangguh di Papua Barat telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, merusak wilayah kelola rakyat, menghancurkan mata pencaharian, menimbulkan dampak kesehatan jangka panjang, dan menggusur secara paksa masyarakat adat dan komunitas lokal,” ujarnya.
Sebuah Petisi bersama juga telah disampaikan kepada pemerintah Jepang dan JBIC untuk meminta mereka menghentikan pendanaan terhadap proyek-proyek gas dan LNG di seluruh dunia. Walhi menuding pasca-Perjanjian Paris, JBIC justru menjadi penyandang dana gas fosil terbesar di Asia Tenggara dengan total pinjaman yang diberikan sebesar US$ 3,3 miliar.
Selain proyek-proyek di Indonesia, portofolio LNG JBIC di Asia Tenggara meliputi Terminal Impor LNG di Filipina dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas yang dipasok oleh terminal impor LNG Map Ta Phut di Thailand, dan proyek-proyek ini juga telah menyebabkan penurunan tajam hasil ikan dan pembatasan wilayah perburuan dan penangkapan ikan tradisional.
JBIC juga mendukung proyek-proyek di Australia, Kanada, dan Mozambik yang secara langsung dan tidak langsung berdampak pada keselamatan masyarakat dan hak-hak masyarakat adat. Di Australia, proyek pengembangan ladang gas Barossa dan Scarborough berjalan tanpa persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (Free and Prior Informed Consent/FPIC) dari para pemilik lahan tradisional.
Di Kanada, pembangunan jalur pipa pada lahan masyarakat adat first nation wet’suwet’en juga dilakukan tanpa FPIC. Proyek ini, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari fasilitas ekspor LNG yang dibiayai JBIC, menyebabkan penindasan dengan kekerasan terhadap aksi protes damai masyarakat adat.
Di Mozambik, proyek yang didukung JBIC akan dimulai kembali di tengah meningkatnya kekacauan yang dipicu oleh serangan pemberontak, sementara operator proyeknya, TotalEnergies, menolak memberi perlindungan bagi korban sipil di lokasi proyeknya yang mendapat penjagaan militer.
Proyek-proyek JBIC juga dikhawatirkan menimbulkan kerugian jangka panjang setelah terjadi ledakan dan sejumlah kecelakaan kebocoran gas di AS yang menyebabkan masalah kesehatan yang parah, seperti asma, penyakit jantung, dan kanker di masyarakat lokal. Proyek-proyek JBIC juga memberi ancaman kenaikan harga listrik yang lebih tinggi, yang selanjutnya akan menurunkan kualitas hidup di negara-negara berkembang, termasuk Bangladesh.
Menurut laporan Oil Change International dan Friends of the Earth Amerika Serikat, meskipun Jepang memiliki komitmen bersama negara-negara G7 lainnya untuk mengakhiri pendanaan publik internasional bagi proyek bahan bakar fosil, namun nyatanya Jepang telah menyediakan dana rata-rata tahunan sebesar US$ 6,9 miliar untuk pendanaan bahan bakar fosil dan hanya $2,3 miliar untuk energi bersih antara tahun 2020 dan 2022. Jepang juga merupakan pendukung utama proyek-proyek hulu bahan bakar fosil, dengan menyediakan dana sebesar US$ 2,5 miliar per tahun.
“Di seluruh dunia, kami bersama-sama mendesak JBIC dan Perdana Menteri Jepang Kishida untuk berhenti mendanai gas fosil dan berkontribusi pada transisi energi yang penuh, adil, cepat, dan memiliki perspektif feminis menuju energi terbarukan,” kata Fanny.
Editor: Ranto Rajagukguk