Sebagian besar perusahaan Jepang yang berada di Indonesia bergerak di bidang industri manufaktur. Pertumbuhan ekonomi yang stabil di atas 5% membuat pasar dalam negeri sangat diminati pemodal asing.
Bahkan, dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), Indonesia menjadi pasar yang paling seksi. Japan External Trade Organization (Jetro) melaporkan hasil survei terbaru kondisi bisnis perusahaan-perusahaan Jepang di Indonesia tahun 2023.
BACA JUGA: Buat Hidup Lebih Tenang dengan 4 Filosofi Jepang
Dari laporan tersebut, sebanyak 42,1% perusahaan memperkirakan laba operasional pada tahun 2023 meningkat bila dibandingkan dengan survei tahun 2022. Takahashi Masakazu, Presiden Direktur Jetro menjelaskan temuan lain dari survei adalah sebanyak 71,4% perusahaan terafiliasi dengan Jepang di Indonesia diharapkan profitable dalam hal pendapatan operasional pada tahun 2023.
Ini merupakan persentase profitable tertinggi dari perusahaan-perusahaan Jepang di kawasan ASEAN.
“Hal ini didorong oleh banyak perusahaan yang menyatakan adanya peningkatan demand dari pasar domestik,” kata Masakazu.
BACA JUGA: Gandeng Jepang, RI Tingkatkan Rasio Kepemilikan Mobil
Menurutnya, dengan kondisi bisnis Indonesia yang positif, sekitar separuh perusahaan Jepang di Indonesia yang disurvei menyatakan keinginan untuk berekspansi bisnis dalam satu hingga dua tahun ke depan. Hasil survei menunjukkan persentase ekspansi bisnis terus meningkat setelah era COVID-19.
Berbeda dengan kondisi di Cina yang terus menurun ekspansinya pada periode yang sama. Tercatat, sekitar 49,5% perusahaan Jepang di Indonesia merespons survei dengan menyatakan akan melakukan ekspansi. Persentase tersebut meningkat 1,7 poin dari survei tahun 2022.
“Sebagai tambahan, hanya sekitar 4,2% perusahaan responden yang menyatakan akan melakukan pengurangan kapasitas maupun relokasi ke negara lain,” ujarnya.
Ekspansi kebutuhan pasar domestik merupakan alasan utama perusahaan melakukan ekspansi bisnis. Masakazu menyampaikan ekspektasi atas ekspansi kebutuhan pasar domestik di Indonesia lebih tinggi daripada ASEAN secara keseluruhan.
Perusahaan-perusahaan Jepang di Indonesia memandang beberapa faktor sebagai keuntungan berbisnis di Indonesia, antara lain ukuran pasar serta potensi pertumbuhan, biaya upah yang rendah, kemudahan rekrutmen staf lokal, klaster industri lokal yang dibentuk oleh perusahaan klien, serta stabilitas politik dan sosial.
“Sedangkan beberapa hal yang masih dianggap sebagai faktor risiko teratas adalah meningkatnya labor cost, manajemen kebijakan dari pemerintah daerah yang kurang jelas, prosedur perpajakan yang menghabiskan waktu, sistem operasi hukum yang belum berkembang dan kurang jelas, serta prosedur administratif yang juga memakan waktu,” ujarnya.
Sementara itu, Febri Hendri Antoni Arif, Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menambahkan kinerja baik tersebut didorong oleh pula oleh faktor lain seperti transformasi menuju Industri 4.0 yang tak luput dari fokus perusahaan Jepang di Indonesia. Sekitar 30% perusahaan menyatakan telah mengimplementasikan otomasi di lini produksi, dan 70% dari perusahaan yang disurvei tertarik untuk melakukannya.
Kemudian, sebanyak 80% perusahaan menyatakan advancement of production lines and technologies dan peningkatan upah pekerja menjadi latar belakang melakukan automasi di Indonesia. Sementara itu, lebih dari 70% perusahaan menyatakan telah mengimplementasikan atau mempertimbangkan inisiatif dekarbonisasi.
Sebanyak 44,3% perusahaan menyatakan telah melakukan upaya dekarbonisasi, seperti pengurangan emisi gas rumah kaca. Jumlah ini meningkat 8,6% dari survei tahun sebelumnya.
Febri menambahkan optimisme perusahaan yang beroperasi di Indonesia menunjukkan bahwa ekonomi nasional saat ini masih cukup tangguh. Penguatan ekonomi sejalan dengan kinerja positif dari industri manufaktur yang menjadi kontributor paling besar terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional.
“Kondisi ini pun dirasakan oleh para pelaku industri yang beraktivitas di Indonesia. Kemenperin terus mendukung perusahaan manufaktur untuk mengembangkan bisnisnya dengan mengusahakan kebijakan-kebijakan yang strategis,” tutur Febri.
Editor: Ranto Rajagukguk