Permasalahan tingginya biaya logistik masih menghantui banyak industri di banyak negara, terlebih di negara kepulauan seperti Indonesia. Meski begitu, banyak pihak terus mengeluarkan berbagai inovasi agar biaya pengiriman barang bisa lebih efisien. Salah satunya melalui inovasi kendaraan truk berbahan bakar listrik atau electric vehicle (EV).
Berbeda dengan passanger car atau kendaraan penumpang, EV di kendaraan niaga masih seperti “kurang perhatian” atau masih di fase yang lebih rendah dengan limitasi daya jelajah yang rendah.
Memasuki fase awal pengenalan truk EV, baru sedikit pemain juga yang memperkenalkan produknya di Indonesia. Tercatat, baru satu pemain yang resmi menjual truk listrik dengan daya jelajah sekitar 100 kilometer.
Kehadiran truk EV yang digadang-gadang akan menjadi solusi efisiensi biaya logistik di samping membawa misi hijau, dinilai belum memberikan solusi besar bagi pelaku industri logistik.
Hal ini disampaikan oleh Robin Lo, CEO J&T Express. Menurutnya, daya jangkau EV saat ini yang masih di sekitaran 100 kilometer dalam sekali pengisian daya, hanya mampu melahap jarak di dalam kota.
“Bahkan di Cina yang katanya ingin melahirkan truk listrik dengan daya jelajah hingga 1.000 kilometer, tapi sampai saat ini belum ada juga. Jadi ini belum betul-betul menjadi solusi,” ujar Robin kepada Marketeers saat dijumpai di Jakarta beberapa waktu lalu.
BACA JUGA: Indonesia Pasar Terbesar Kedua J&T Express setelah Cina
Di sisi lain, Robin mengapresiasi yang dilakukan pemerintah dalam hal pembangunan jalan tol yang membuat biaya logistik kian murah. Selain itu, Robin juga menilai perlu adanya regulasi yang menjamin persaingan yang sehat di industri logistik.
Di sini, Robin menyoroti bisnis yang dilakukan pemain e-commerce yang juga memiliki armada logistik. Kehadirannya yang belum diatur, dianggap memukul para perusahaan logistik yang lebih dulu hadir dengan investasi yang tidak besar dalam membangun infrastruktur.
Hal ini kian penting lantaran pasar e-commerce kini mendominasi permintaan jasa logistik atau pengiriman ekspres, termasuk bagi J&T Express.
Jika diperhatikan, poin persoalannya terletak dari jamaknya layanan free ongkir dari e-commerce yang memberikan konsumen limitasi untuk memilih jasa pengiriman yang akan digunakan. Dan, umumnya pengiriman akan dilakukan oleh jasa pengiriman dari e-commerce tersebut.
BACA JUGA: 9 Tahun J&T Express, Performa, dan Bisnis Berkelanjutan
Hal ini yang dinilai kurang sehat karena tidak ada pembatasan dari pemerintah sehingga memberikan dampak terhadap pelaku bisnis ekspres lain.
Di sisi lain, tingginya biaya logistik juga menjadi kendala untuk para perusahaan logistik untuk melulu mengeluarkan program promosi harga dan secara alamiah menghindari terjadinya perang harga.
“Di Cina, pemerintah memberikan kontrol habis-habisan, termasuk kontrol harga dan mengecek dengan benar harga yang paling make sense, tidak terlalu mahal dan tidak terlalu murah. Termasuk, kontrol berupa pemberian sertifikasi kurir,” ungkap Robin.
Kontrol ini digunakan untuk memberikan keamanan juga untuk konsumen dari risiko barangnya dibawa kabur kurir. Dan, risiko ini dibebankan ke perusahaan logistik, khususnya saat layanan COD yang hari ini mendominasi sampai 70% total transaksi.
Meski begitu, Robin tetap mengapresiasi subsidi ongkos kirim yang kerap diberikan oleh pelaku e-commerce yang justru memberikan keuntungan bagi konsumen yang berada di pulau terjauh seperti Papua, Maluku dan lainnya yang terkendala ongkos kirim yang mahal.
Dari sisi pelaku industri logistik, upaya untuk menekan biaya logistik terus dilakukan saban tahun. “Kami terus perbaiki operasional kami agar dapat menekan biaya logistik, termasuk penggunaan teknologi automasi. Meski begitu, kami harus tetap jaga ekosistem lapangan kerja bagi masyarakat,” tutup Robin.