Industri farmasi dianggap mendapat durian runtuh di masa pandemi COVID-19. Namun, pada kenyataannya, industri ini juga terkena dampak pandemi, meskipun tidak separah industri lain. Diperkirakan, industri ini mengalami penurunan sekitar -5% sampai -8% dibanding tahun lalu.
Pertumbuhan minus ini terjadi karena rumah sakit cenderung sepi. Hal ini menyebabkan permintaan obat ethical dari rumah-sakit menurun di masa pandemi. Memang, masih ada kenaikan permintaan pada produk farmasi lain, seperti nutrisi, vitamin, dan obat-obatan over the counter (OTC). Namun tidak bisa mengimbangi laju penurunan di kategori obat-obatan ethical.
Meski begitu, industri farmasi terbilang cepat dalam melakukan pemulihan. Para pelaku di industri kesehatan, baik dari sisi dokter, rumah sakit, hingga apotek, segera memanfaatkan teknologi digital untuk melakukan servicing dan sekaligus surviving. Sehingga, pada Agustus, industri ini mulai membaik.
Meski secara industri terjadi penurunan, para pemain yang memiliki berbagai lini bisnis lain di luar obat ethical mampu mempertahankan pertumbuhan positif. Salah satunya, PT Kalbe Farma Tbk (Kalbe Group) yang hingga kuartal tiga tahun ini masih bisa meraih pertumbuhan laba bersih antara 6%-7% dibanding tahun lalu.
Apa kunci pertumbuhan Kalbe Group di masa pandemi ini? Menurut Vidjongtius, President Director PT Kalbe Farma Tbk, perusahaannya melakukan berbagai langkah taktis dan strategis dalam menghadapi pandemi.
“Ada tiga hal besar yang kami lakukan, yakni penerapan protokol kesehatan, percepatan research & development (R&D), dan perubahan mindset karyawan agar sigap dalam menghadapi situasi pandemi. Selain itu, melakukan pengaturan cash flow karena sedang menghadapi situasi uncertainty,” kata Vidjongtius.
Ia menjelaskan, penerapan protokol kesehatan menjadi hal utama karena perusahaan harus tetap beroperasi, sehingga kondisi karyawan harus tetap prima. Di sisi lain, menjadi upaya Kalbe Group untuk ikut terlibat dalam pencegahan penularan COVID-19.
Terkait R&D, Vidjongtius menerangkan bahwa setelah pandemi, permintaan pada produk-produk nutrisi dan vitamin melonjak tajam. Hal ini mendorong Kalbe Group melakukan sederet inisiatif pengembangan produk. “Sejak pandemi terjadi, setidaknya kami telah menghasilkan 20 jenis produk baru,” katanya.
Perubahan lingkungan bisnis yang begitu cepat juga mendorong Kalbe Group melakukan realokasi capital expenditure (capex). Melakukan peninjauan pada berbagai rencana yang telah disusun dan disesuaikan dengan kebutuhan bisnis di masa pandemi.
“Sehingga, sampai kuartal tiga tahun ini, alokasi capex kami telah mencapai Rp 1 triliun dari rencana awal tahun Rp 1,5 triliun. Sudah tentu, ada rencana-rencana yang memang tidak bisa kami jalankan atau bisa ditunda. Namun, menurut kami nilai capex yang bisa kami gunakan ini sudah cukup bagus,” kata pria yang mendapat penghargaan The Best Industry Marketing Champion 2020 Pharmaceutical Sector dari MarkPlus, Inc. ini.
Sebagian capex juga digunakan untuk menambah dana untuk R&D. Setiap tahun, rata-rata Kalbe Group mengalokasikan dana R&D sekitar Rp 200 miliar. Pada masa pandemi ini, dana R&D ditambah antara Rp 20-50 miliar. “Penambahan ini untuk percepatan pertumbuhan bisnis melalui pengembangan produk baru dan pengembangan vaksin COVID-19,” tambah Vidjongtius.
Untuk mengembangkan vaksin COVID-19, Kalbe Group menggandeng perusahaan asal Korea Selatan, yakni Genexine, Inc., sebuah perusahaan obat biologi. Kalbe dan Genexine sepakat untuk melakukan uji klinik GX-19 di Indonesia. Saat ini, proses uji klinis tersebut sudah memasuki fase kedua.
Vidjongtius optimistis, bila seluruh proses pembuatan vaksin ini selesai, Kalbe Group bisa mendukung pemenuhan vaksin COVID-19 di Indonesia. Ada dua hal yang bisa dilakukan perusahaan farmasi ini terkait vaksin, yakni pada sisi produksi dan distribusi.