Mata uang kripto sering dikaitkan dengan geeks atau mereka yang ingin mengumpulkan uang dengan cepat. Kini mata uang kripto telah berubah menjadi metode pembayaran populer. Menurut laporan terbaru dari Kaspersky Lab, satu dari sepuluh orang (13%) di seluruh dunia kini menggunakannya untuk transaksi pembelian. Untuk kawasan Asia Tenggara, 28% dari 451 responden di Vietnam dan 27% persen dari 494 responden di Indonesia mengaku pernah menggunakan teknologi keuangan ini.
Para pelaku kejahatan siber juga memanfaatkan tren ini dengan cara menargetkan pertukaran mata uang digital dan memodifikasi ancaman lama untuk menyerang investor. Hal ini membuat orang berisiko kehilangan tabungan yang mereka simpan dalam teknologi tidak terlindungi ini, karena para peretas mengembangkan teknik canggihnya untuk mengakses dana.
Kini, semakin banyak bisnis yang menawarkan mata uang kripto sebagai metode pembayaran, dibuktikan dengan pengecer dan outlet makanan yang mulai menerima mata uang tersebut. Harga kian turun dan tim olahraga besar bahkan bermitra dengan pertukaran mata uang digital ini.
Dengan semakin tingginya minat masyarakat dalam menggunakan mata uang kripto untuk berinvestasi dan bertransaksi, dompet digital mereka juga semakin rentan dicuri, berpotensi mengalami pertukaran yang tidak aman dan Initial Coin Offerings (ICOs). Pernah terjadi juga insiden besar di mana sejumlah token digital senilai US$ 530 juta telah dicuri.
Para pelaku kejahatan dapat menggunakan berbagai cara untuk mencuri dana dari dompet kripto, pertukaran mata uang kripto dan ICO. Kasus besar, termasuk ketika 120.000 bitcoin dicuri dari dompet pelanggan di Bitfinex empat setengah tahun yang lalu.
Lalu, ketika Coincheck diretas sebesar US$530 juta pada tahun 2018, menunjukkan ketidakamanan sistem pertukaran ini dan kemudahan bagi para pelaku kejahatan siber untuk mengakses jaringan langsung dan menyebabkan kerusakan yang parah dan tidak dapat diperbaiki. Jika semua uang dalam pertukaran mata uang kripto dicuri, sederhananya, mata uang tersebut akan ditiadakan, dan tidak ada yang dapat dikembalikan kepada investor.
ICO berisiko karena individu yang terlibat seringkali tidak memiliki latar belakang atau pengalaman dalam keamanan siber. Ini membuat mereka tidak dapat melindungi dana dan merespons secara efektif jika suatu saat terjadi insiden. Akhirnya, pasar mata uang kripto masih belum memiliki kebijakan yang memadai dan tidak memiliki mekanisme penilaian risiko.
Vitaly Mzokov, Kepala Verifikasi, Growth Centre di Kaspersky Lab dalam siaran resmi mengatakan, meskipun terdapat penurunan nilai mata uang kripto, para konsumen masih memiliki keinginan kuat untuk melakukan transaksi digital di antara mereka.
“Riset konsumen kami menemukan bahwa 13% orang telah menggunakan mata uang kripto sebagai metode pembayaran, hal ini cukup mengejutkan. Namun, ada juga bahaya nyata terkait dengan pertukaran digital ini, karena sifatnya yang masih dalam fase pengembangan. Jadi, adanya konsekuensi keuangan masih sangat berpotensi terjadi jika tidak tersedia keamanan di sisi dana konsumen tersebut,” kata Mzokov.
Dengan ancaman para pelaku kejahatan siber yang menjadi lebih canggih dalam melakukan serangan, sambung Mzokov, pertukaran mata uang digital dan ICO menjadi target utama mereka karena memberikan akses untuk mencuri dana dengan jumlah besar sehubungan kurangnya ketersediaan keamanan siber. Sederhananya, tidak ada yang dapat menggantikan rasa kewaspadaan – jika sesuatu terlihat mencurigakan dengan cara apa pun, jangan melakukan investasi.