Situasi perekonomian dunia dan Indonesia pada tahun 2019 diprediksi akan lebih baik ketimbang tahun 2018. Kinerja pasar finansial Indonesia mulai menunjukkan arah positif pada penghujung tahun 2018. Kekhawatiran pertumbuhan ekonomi global, kenaikan suku bunga Amerika Serikat (The Fed) yang sangat agresif, dan perang dagang antara Amerika Serikat dengan mitra dagangnya, membuat pasar bergejolak dan bergerak negatif pada tahun berjalan 2018. Pada penghujung tahun, kondisi pasar mulai kondusif, terlihat dari kinerja pasar saham dan obligasi yang yang tumbuh masing-masing 3,85% (MoM) dan 4,17% (MoM) dan nilai tukar rupiah yang menguat 5,93% per November 2018.
Katarina Setiawan, Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) mengungkapkan, ada tiga hal yang menjadi pembahasan utama pada tahun 2019, yaitu pertumbuhan ekonomi dunia yang masih positif meski cenderung mengalami moderasi, suku bunga global yang akomodatif, dan perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dan mitra-mitranya.
“Berbeda dengan awal tahun 2018, di tahun 2019 pasar sudah memperhitungkan dampak perang dagang dan pengetatan moneter bagi pertumbuhan ekonomi dunia. Harga-harga saham sudah terkoreksi pada tahun ini. Sementara, pertumbuhan laba korporasi tahun 2019 yang diperkirakan masih positif,” terang Katarina.
Kenaikan suku bunga The Fed diperkirakan tidak akan seagresif tahun 2018. Hal ini lantaran Amerika Serikat harus menghadapi meredanya dampak positif dari pemotongan pajak terhadap pertumbuhan ekonominya. Sementara kenaikan suku bunga agresif selama dua tahun berturut-turut akan mulai menggerus laju pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Dus, kenaikan suku bunga The Fed yang tidak terlalu agresif akan membuat tekanan kenaikan suku bunga di negara-negara berkembang mereda.
Meski isu perang dagang antara Amerika Serikat dan mitra-mitranya masih akan mewarnai perjalanan tahun 2019, namun pasar finansial global telah memperhitungkan dampak terburuk dari perang dagang terhadap ekspektasi pertumbuhan ekonomi dan laba korporasi. “Satu hal yang menarik, perang dagang membuat kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, berpeluang menjadi pihak yang diuntungkan, karena korporasi global yang tadinya berpusat di China bisa saja mendiversifikasikan bisnisnya ke luar China. Sektor-sektor berpotensi diantaranya adalah IT, otomotif, dan garmen,” ujar Katarina.
Pada tahun 2019, Indonesia memang punya hajatan besar, yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden yang akan berlangsung pada 17 April. Kondisi ini tentunya akan menciptakan dinamikanya sendiri. Secara historis, pada tahun pemilu, pasar saham Indonesia cenderung menguat ditopang oleh ekspektasi ekonomi yang dapat berkontribusi positif bagi dunia usaha dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kebijakan populis yang biasa diluncurkan menjelang pemilu juga dapat meningkatkan aktivitas ekonomi.
“Potensi pertumbuhan pasar saham tahun 2019 diperkirakan akan lebih baik dibandingkan tahun 2018. Apalagi, harga saham di Indonesia sudah terbilang murah. Padahal kinerja perusahaan masih baik,” katanya.
Lantas saham apa saja yang masih layak dikoleksi? Katarina melihat sektor perbankan dan consumer discretionary masih sangatlah menarik. Adapun yang dimaksud consumer discretionary adalah produk yang tahan lama, apparel, entertainment, leisure, hingga otomotif.
Selain itu, sektor telekomunikasi yang baru saja melewati aksi bersih-bersih penggunanya, diperkirakan bakal memberikan valuasi yang menarik. Sedangkan sektor yang bakal menjadi kuda hitam adalah infrastruktur.
“Banyak perusahaan konstruksi yang PE-nya rendah. Padahal sektor ini sangat menarik di era Pak Jokowi. Memang ada isu tentang cash flow. Tapi rasanya akan terselesaikan karena adanya BUMN Holding. Sektor konstruksi bakal menjadi wild card pada 2019,” katanya. Hingga akhir 2019, MAMI sendiri memprediksi IHSG bakal bertengger di angka 6.900-7.100.