Pabrikan ponsel asal China silih berganti masuk pasar Indonesia. Banyak dari mereka yang harus tumbang karena tak mampu bertahan. Namun bagi Vivo, mereka tak ingin sekadar hit & run di pasar dalam negeri.
Vivo merupakan merek ponsel asal China yang dibuat oleh perusahaan bernama BBK Electronics Corporation yang didirikan oleh Duan Yongping pada tahun 1995. Pada awalnya, BBK dikenal bukan sebagai produsen ponsel, melainkan pemasok gem konsol imitasi SuperNintendo.
Perusahaan ini lambat laun berkembang sebagai perusahaan elektronik, mulai dari DVD, MP3 Player, hingga televisi. BBK pun memperkenalkan Oppo sebagai salah satu merek blue-ray. Hingga pada tahun 2010, Oppo menjelma sebagai merek smartphone.
Tak berselang lama atau pada tahun 2011, merek Vivo lahir dari kantong perusahaan yang sama. Siapa sangka, kedua merek smartphone ini kini bertengger di lima besar produsen ponsel terbesar dunia.
Awalnya, Vivo diposisikan sebagai versi hig-end dari Oppo. Akan tetapi, setahun terakhir Vivo merambah ke pasar menengah, membuatnya harus bersaing dengan sang “kakak”.
Strategi “kanibalisme” seperti yang dilakukan BBK biasanya bertujuan untuk meraih full market coverage alias menguasai semua segmen pasar. Strategi ini dinilai mampu menjadikan kedua merek tampil sebagai pemain paling kuat di market. Harapannya, perusahaan induk dapat membendung laju perusahaan kompetitor yang hendak masuk ke pasar yang sama.
Walau baru berusia enam tahun, Vivo terbilang cukup agresif dalam merambah pasar negara-negara tetangga di luar China, seperti Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Bahkan, riset IDC (International Data Corporation) menyebut bahwa berdasarkan volume penjualan Q1 2017, Vivo bertengger di posisi lima besar.
Vivo berhasil menjual 18,1 juta unit ponsel, tumbuh 5,2% dari kuartal yang sama tahun sebelumnya. Berdasarkan data itu, pangsa pasar Vivo secara global telah menyentuh 4,4%.
Torehan tersebut memang terlampau jauh dari peringkat pertama Samsung yang mengempit 22,8% market share atau berhasil menjual 79,2 juta unit.
Di urutan kedua terdapat Apple yang membukukan penjualan 51,6 juta unit atau meraih 14,9% market share. Lalu kemudian disusul Huawei dengan angka penjualan 34,2 juta unit atau mengantongi 9,8% pangsa pasar. (Lihat tabel).
Di tanah air, Vivo bernaung di bawah PT Vivo Mobile Indonesia. Perusahaan ini sengaja tidak terafiliasi langsung dengan Oppo. Sehingga, meski kakak-beradik, masing-masing perusahaan dilepas ke pasar domestik sebagai kompetitor.
Edy Kusuma, Brand Manager PT Vivo Mobile Indonesia mengatakan bahwa meski baru masuk pasar nusantara sejak tiga tahun lalu, Vivo bertekad menjadi pemain tiga besar di Indonesia.
“Saat ini, Vivo berada di posisi lima besar. Secara bertahap, kami akan jadi tiga besar. Kami butuh waktu 2-3 tahun lagi,” ujar Edy saat peluncuran flagship phone teranyarnya Vivo V5s.
Dalam menggarap pasar lokal, Vivo sama seperti sang kakak Oppo yang membangun kanal distribusi dan layanan purnajual. Penjualan digenjot lewat kemitraan merek ini dengan 6.000 pengecer yang tersebar di 360 kota. Selain itu, per Januari 2017, Vivo juga membangun 50 pusat layanan purnajual.
Setelah jaringan distribusi sudah terbangun, giliran Vivo tancap gas untuk meningkatkan brand awareness. Tak tanggung-tanggung, merek ini menggandeng delapan artis ternama, termasuk Agnez Mo.
Selain itu, mereka juga menggunakan 50 jasa selebgram, vlogger, dan Key Opinion Leaders (KOL). Saat ini, agenda komunikasi Vivo adalah mempromosikan produk andalannya yaitu Vivo V5s, ponsel selfie dengan kemampuan kamera depan berkapasitas 20 megapiksel.
Untuk menggali lebih jauh, Saviq Bachdar mewawancari Edy seusai selebrasi peluncuran Vivo V5s di Raffles Hotel Jakarta. Berikut petikan wawancaranya.
Vivo bertekad menjadi Top 3 smartphone dalam lima tahun sejak awal hadir di Indonesia. Apa strategi Anda?
Edy: Saat kami memutuskan untuk menjadi pemain Top 3 di pasar tanah air, artinya kami sangat sadar hal utama yang mesti dimengerti adalah needs & wants dari masyarakat Indonesia. Karenanya, kami menghadirkan produk-produk untuk menjawab kebutuhan itu.
Artinya, product should be the number one. Produk harus hadir dengan kualitas yang bagus. Produk pun juga harus menjawab kebutuhan konsumen saat ini, yaitu dalam hal ini menawarkan kamera yang baik untuk selfie.
Setelah produk sudah baik, barulah mengatur kanal distribusi. Kami bermitra dengan partner, diler, dan toko-toko handphone di pelosok nusantara, memastikan bahwa distribusi Vivo telah merata.
Setelah itu, baru lah masuk ke tahap peningkatan brand awareness melalui strategi komunikasi dan promosi yang tepat sesuai dengan target audiens yang tepat pula.
Ada delapan product ambassador, 50 selebgram dan vlogger yang digandeng Vivo untuk mempromosikan Vivo V5s. Mengapa sebanyak itu?
Sebenarnya, Vivo V5s ingin menjadi brand yang memiliki dampak positif bagi konsumennya di tanah air. Tentu saja, kami ingin masuk ke pasar millennials yang secara umum sudah social minded.
Kami memiliki delapan product ambassador antara lain Agnez Mo, Afgansyah Reza, Pevita Pearce, Prilly Latuconsina, Al Ghazali, Shireen dan Zaskia Sungkar, serta fotografer Nicoline Patricia yang didapuk sebagai Chief Selfie Officer.
Para product ambassador tersebut dibantu oleh KOL, mereka bertugas mentransfer brand meaning kami ke customer, karena mereka adalah orang-orang yang engage langsung dengan target konsumen kami. Lewat tangan mereka, kami berharap dapat menjangkau sebanyak mungkin share of voice Vivo di masyarakat Indonesia.
Anda yakin influencer marketing efektif bagi Vivo?
Dalam elemen marketing, menggunakan influencer diharapkan menciptakan pemasaran word of mouth (WOM). WOM itu adalah elemen paling powerful dalam mempromosikan produk sekaligus merekomendasikannya ke orang lain.
Saya yakin, para influencer yang kami pilih efektif dalam mempromosikan merek kami, sehingga brand kami menjadi lebih dikenal konsumen.
Apakah biaya menggunakan influencer lebih tinggi ketimbang aktivitas ATL, seperti beriklan di televisi?
Berbicara bujet promosi, tidak ada satu brand pun yang memiliki dana promosi yang unlimited. Kami juga mengalami hal yang sama. Yang terpenting adalah bagaimana meracik konten komunikasi yang efektif, ketimbang memperhitungkan biaya promosi.
Saya lihat ada duo sister Sungkar sebagai product ambassador. Apakah kehadiran mereka untuk menggaet pasar hijabers?
Kami datang untuk menjadi satu perusahaan yang blend in dengan budaya Indonesia. Kami mendukung semua kultur yang ada. Baik Shireen, Saskia, ataupun Prili, itu lebih kepada seberapa dekat mereka dengan brand value kami, yaitu fun, energetic, young and fashionable.
Awalnya, smartphone China masuk ke Indonesia lewat produk-produk segmen low-end. Namun sekarang high-end. Sebenarnya, pasar terbesar smartphone Indonesia ada dimana?
Ada beberapa data yang bisa menjadi acuan. Berdasarkan riset gfK, kami melihat kelas upper middle adalah pasar yang paling cepat pertumbuhannya di Indonesia. Yang termasuk ke dalam market ini adalah first jobber dan young millennials. Kisaran harga yang masuk akal di segmen ini antara Rp 3 juta hingga Rp 5,5 juta. Di Vivo, sampai saat ini, semua varian produk bermain di kisaran harga tersebut.
Berapa penjualan Vivo sampai saat ini?
Untuk angka, masih fluktuatif yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor perekonomian yang terjadi pada tahun 2015 dan 2016, tentu membuat volume penjualan berubah-ubah.
Akan tetapi, karena kami masih baru, target kami adalah bagaimana brand kami dikenal, sehingga orang mau melakukan purchase dan repurchase. Setelah itu, baru ada retention.
Bagaimana dengan kapasitas pabrik yang dibangun Vivo?
Per Maret 2016, semua smartphone kami sudah produksi lokal dengan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) 32%. Lokasi pabrik berada di Cikupa, Tangerang.
Kami sudah ekspansi pabrik. Memang, saat ini, kapasitas produksi untuk total masih belum mencapai hasil yang memuaskan. Maka itu, kami ingin kuat lagi promosi, sehingga demand meningkat, kapasitas produksi pun juga akan meningkat.
Sampai kapan merek Anda mencapai pertumbuhan yang diharapkan di Indonesia?
Seharusnya dalam lima tahun sejak investasi pertama. Kami baru hadir sejak tiga tahun lalu. Masih ada 2,5 tahun ke depan untuk pembuktian apakah kami berhasil atau tidak.
Kami memiliki Vivo Fans Club, komunitas-komunitas yang secara swadaya dibuat oleh customer, tanpa kami minta. Mereka tersebar di banyak daerah di Indonesia. Ini kan ciri-ciri sebuah brand besar, yaitu memiliki fans loyal. Karena itu, kami optimistis dapat meraih posisi tiga besar smartphone di Indonesia dalam waktu dekat.
Editor: Sigit Kurniawan