Pariwisata yang berkelanjutan atau sustainable tourism menjadi model pengelolaan wisata yang dibutuhkan saat ini. Pariwisata harus berfokus pada kelestarian lingkungan sebagai langkah awal menuju keberlanjutan tersebut. Hal ini yang saat ini sedang digenjot oleh Pemerintah Daerah Bali.
Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan (Event) Kemenparekraf/ Baparekraf, Rizki Handayani, dalam seminar daring bertajuk “Bincang-bincang Revitalisasi Bumi”, Rabu (12/8/2020), mengatakan pandemi menyadarkan bahwa kebersihan, kesehatan, dan kelestarian lingkungan menjadi hal yang sangat penting dalam semua aspek pembangunan, termasuk pariwisata.
“Pola wisatawan akan berubah. Wisatawan akan mencari destinasi wisata yang dapat memberikan rasa aman dan nyaman. Untuk menciptakan rasa aman dan nyaman bisa dimulai dari lingkungan kita sendiri,” kata Rizki.
Rizki menambahkan rebranding pariwisata yang dimulai dari kelestarian lingkungan menjadi dasar dari pengembangan pariwisata berkelanjutan. “Mari kita refocusing dalam mempromosikan Bali sebagai destinasi yang benar-benar melestarikan lingkungan, terutama dalam aspek hygiene,” ujar Rizki Handayani seperti dikutip dari keterangan resmi Kemenparekraf.
Sebelumnya Kemenparekraf telah menyusun protokol kesehatan berbasis CHSE (Cleanliness, Healthy, Safety, and Environmental Sustainability) yang harus diterapkan dengan benar dan disiplin sesuai dengan standar operasional prosedur yang berlaku, khususnya bagi para pelaku usaha di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
Tim Ahli Gubernur Bidang Pariwisata Cipto Aji Gunawan, memaparkan Pemprov Bali telah memiliki dua Peraturan Gubernur yang terkait dengan pelestarian lingkungan, yaitu mengenai sampah. Salah satunya ada pembatasan atau pelarangan penggunaan plastik sekali pakai. Sebagai upaya untuk mendorong Bali menjadi sebuah destinasi wisata yang lebih berkualitas.
“Peraturan terkait dengan sampah ini menjadi bagian dari protokol kesehatan. Saat ini, sedang berjalan proses sertifikasi dari berbagai industri termasuk industri wisata bahari, dan di dalamnya itu ada protokol mengenai sampah. Jadi tidak hanya dengan penerapan peraturan saja tetapi implementasinya berupa protokol yang sekarang harus dipatuhi oleh semua pelaku usaha pariwisata untuk menerapkan tatanan adaptasi baru yang lebih berkualitas khususnya terkait dengan lingkungan ini,” kata Cipto Aji.
Dari data Bank Dunia menunjukkan pesisir Indonesia menyumbang sebanyak 3,22 juta ton sampah ke lautan, termasuk sampah plastik. Akan tetapi, Indonesia sudah menyiapkan rencana aksi nasional yang diharapkan dapat terwujud atau tercapai pada tahun 2025, yaitu akan mengurangi jumlah sampah di lautan hingga 70 persen.
Founder & Executive Director of Divers Clean Action, Swietenia Puspa Lestari menjelaskan melihat kondisi pandemi saat ini, ternyata memunculkan paradigma-paradigma baru yang justru membuat penggunaan plastik sekali pakai itu sesuatu yang normal dan bahkan lebih higienis.
“Namun, ketika berkunjung ke titik-titik pantai wisata, kita justru banyak menemukan plastik sekali pakai yang bukan hanya didapatkan dari sampah kiriman tapi akibat dari perubahan paradigma tadi,” ujar Swietenia.
Swietenia juga mengatakan seluruh masyarakat dan pemerintah harus bekerja sama untuk memberikan pemahaman kepada seluruh pelaku usaha pariwisata, bahwa sebenarnya yang bisa didaur ulang itu justru lebih baik dan lebih sehat.
“Kami prihatin melihat pelaku usaha pariwisata yang belum sadar dalam menerapkan protokol kesehatan. Ketika tidak ada tamu, tidak menjaga kebersihan dan tidak menerapkan SOP kesehatan dengan benar. Jika kita ingin membuka destinasi wisata kembali, pelaku usaha pariwisata harus benar-benar memperhatikan kesehatan dan kebersihan, ini juga akan berbuah manis bagi pelaku usaha pariwisata itu sendiri,” kata Swetenia.