Kelirumologi dan Salah Kaprah Tentang Marketing di Zaman Now

marketeers article
Signpost in a park or forested area with arrows pointing two opposite directions towards True and False.

Anda pernah  dengar istilah “kelirumologi’? Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh seorang pianis dan pengusaha jamu asal Semarang bernama Jaya Suprana. Pendiri Museum Rekor dunia Indonesia (MURI) ini pernah membahas seputar pemahaman salah kaprah atau keliru tentang apa saja yang kemudian ia labeli sendiri dengan nama kelirumologi.

Menurut definisi Wikipedia, Kelirumologi diartikan sebagai suatu mashab atau paham mempelajari atau menelaah kekeliruan demi mencari kebenaran. Kelirumologi mencoba meluruskan salah kaprah atau kekeliruan pemahaman yang sudah terlanjur dianggap benar oleh masyarakat luas. Jaya mencontohkan, soal air mineral. Soal air mineral, banyak orang menyamakannya dengan Aqua. Padahal, Aqua itu nama merek. Tapi, mereka menjadikannya sebagai identitas sebuah produk. Di sisi lain, ini bisa dipahami sebagai keberhasilan merek Aqua yang mampu membangun top of mind di kategori air mineral.

Meminjam istilah “kelirumologi” Jaya Suprana, Penulis ingin menyuguhkan beberapa beberapa salah kaprah pemahaman tentang marketing.

#01  Marketing sering disamakan dengan selling.

Banyak orang menyamakan marketing dengan aktivitas menjual. Tak heran, bila ada iklan baris di koran yang menawarkan posisi marketing tak lain adalah posisi penjualan. Tak sedikit juga mengidentikkan para sales promotion girl (SPG) sebagai orang marketing itu sendiri. Padahal, Marketing itu memiliki pemahaman yang jauh lebih luas dan di dalamnya ada yang dinamakan selling. Artinya, marketing tidak dipahami secara sempit dengan sekadar jualan, tapi meliput banyak hal, seperti branding, diferensiasi, positioning, dan sebagainya.

#02  Marketing dipersempit dengan sekadar promosi maupun program sales promo.

Sering kekeliruan kedua ini dikaitkan dengan kekeliruan pertama, yakni jualan. Karena motivasinya jualan, biasanya dengan menempuh segala cara, target jualan harus tercapai. Sayangnya, orang cenderung jatuh pada menghalalkan segala cara, termasuk membohongi pelanggan. Maksudnya, penjual lebih sering overpromise pada pelanggan. Padahal, yang didapatkan pelanggan tidak seperti yang dipromosikan. Yang penting, target jualan tercapai. Praktik inilah yang membuat citra marketing menjadi buruk. Citra marketing diidentikan dengan bujuk rayu atau tipu menipu.

#03 Pelanggan adalah Raja

Banyak merek yang masih memposisikan customer adalah raja. Padahal, pemahaman ini sudah tak berlaku alias tak relevan lagi di era yang serba terkoneksi seperti sekarang ini. Bahkan, masih banyak yang memposisikan pelanggan sebagai target yang tak lain adalah objek semata. Inilah Marketing 1.0 yang berorientasi pada produk. Ketika pelanggan diposisikan sebagai raja, pemasar cenderung “menghalalkan segala cara” agar sang raja itu senang. Akibatnya, pemasar cenderung menjilat asal pelanggan senang.

Inilah Marketing 2.0 yang berorientasi pada customer. Sekarang adalah eranya Marketing 3.0, marketing yang berorientasi pada value dan human spirit. Di sini, pelanggan diposisikan sebagai sahabat yang sejajar dengan perusahaan. Sebagai sahabat, pemasar memperlakukan pelanggan sebaik mungkin yang bisa mengembangkan kehidupan pelanggannya dan bukan asal memenuhi keinginan pelanggan.

#04 Yang penting branding dan kemasan bagus

Ada juga yang bilang, marketing itu tak lain sebagai upaya untuk mengemas produk sebagus dan semenarik mungkin. Memang, kemasan dan branding itu penting. Tapi, perusahaan tak boleh sampai di situ saja. Artinya, perusahaan harus memperhatikan konten. Style memang penting karena ini yang membangkitkan daya tarik bagi konsumen atau yang menentukan ketertarikan orang pada pandangan pertama. Tapi, substance juga tak kalah penting. Apalah arti kemasan dan branding yang bagus kalau tidak disertai dengan konten atau produk yang bagus juga. Kalau tidak diimbangi substance yang bagus, konsumen akan merasa tertipu. Dan, di era internet ini, kalau hal ini terjadi, persoalannya bisa menjadi besar karena isunya akan viral dan ke mana-mana. So, style dan substance harus sama-sama bagus.

#05 Saat Internet berkembang, pemasaran offline mati

Ada yang bilang, derasnya arus digitalisasi ini akan mematikan semua yang berbau tradisional atau offline.  Memang, digitalisasi membuat banyak merek yang dulunya mengunggulkan kekuatan konvensional bisnisnya menjadi guncang atau bahkan tutup. Tapi, keliru kalau online seratus persen akan menggantikan offline. Yang benar adalah integrasi antara online dan offline.

Pemasaran offline dan online harus saling mengisi untuk memenangkan hati pelanggan. Offline dibutuhkan untuk membangun interaksi langsung dan pengalaman pelanggan. Sedangkan online dibutuhkan untuk membangun intimacy dengan mereka.

Kita lihat saja sekarang di mana banyak perusahaan digital seperti e-commerce pun membangun pop up store atau ritel fisik untuk membangun kedekatan dengan pelanggan. Misalnya, Amazon, Zalora, Alibaba, dan sebagainya.

Intinya apa? Intinya adalah saatnya pemasar mengandalkan omnichannel yang mengintegrasikan online dan offline. Inilah era Marketing 4.0.

#06 Loyalitas pelanggan itu sekadar repeat buying

Kekeliruan selanjutnya adalah loyalitas. Banyak yang masih memahami tingkat loyalitas tertinggi pelanggan adalah ketika pelanggan itu balik dan terus membeli produk kita. Di era sebelum booming internet, pemahaman itu ada benarnya. Tapi, di era konektivitas ini, customer path sudah berubah, dari 4A menjadi 5A. Dulu, yang dimaksud 4A adalah Aware, Attitude, Act, Act Again. Sekarang berubah menjadi 5A, yakni Aware, Appeal, Ask, Act, dan Advocate.

Intinya apa? Intinya, loyalitas sekarang tidak sebatas membeli produk lagi (repeat buying) tapi advokasi atau seberapa banyak orang merekomendasikan sebuah produk atau merek kepada orang lain.

#07 Keren itu ketika serba teknologi

Di era digital, ada pemahaman latah yang mengatakan yang keren itu ketika semua serba teknologi. Keren ketika semua urusan dengan konsumen diselesaikan dengan mesin atau robot. Bahkan, konektivitas saat ini memampukan relasi kuat machine-to-machine. Namun, jangan salah sangka. Konsumen di era ini justru ingin tetap membutuhkan relasi dan komunikasi yang human-to-human. Buat apa semua serba teknologi kalau ujungnya justru membuat konsumen merasa terasing, bingung, dan merasa tak diperhatikan dan dihormati dalam pelayanan. So, sebaiknya teknologi justru semakin memperkuat relasi human ini kepada konsumen.

Related