Kembangkan Kendaraan Listrik, Kemenperin Tarik Investor Jepang

marketeers article

Tengah fokus mengembangkan kendaraan listrik dalam negeri, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menarik investasi di sektor industri pembuatan baterai. Setelah mencoba menarik investor Korea dan sejumlah negara lain berinvestasi di Indonesia, Kemenperin turut menarik Jepang untuk menanam investasi di sektor ini. Apa alasannya?

Upaya menarik Jepang menanam investasi di sektor ini diyakini Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Harjanto lantaran negara tersebut memiliki kendaraan listrik yang telah berkembang.

“Hal ini dapat mendukung investasi bahan baku baterai yang sudah ada di Indonesia. Di Morowali sudah ada investor materialnya, dalam 16 bulan ke depanmereka sudah siap beroperasi. Maka itu berikutnya, kami terus dorong untuk pembangunan pabrik baterainya,” kata Harjanto di Jakarta, Selasa (29/01/2019).

Proyek industri smelter berbasis teknologi hydro metallurgy tersebut akan memenuhi kebutuhan bahan baku baterai lithium generasi kedua nikel kobalt yang dapat digunakan untuk kendaraan listrik. Total investasi yang ditanamkan sebesar US$700 juta dan akan menghasilkan devisa senilai US$800 juta per tahun.

Pabrik yang menyerap 2.000 tenaga kerja tersebut diproyeksi mampu memproduksi 50 ribu ton produk intermediate nikel hidroksida, 150 ribu ton baterai kristal nikel sulfat, 20 ribu ton baterai kristal sulfat kobalt, dan 30 ribu ton baterai kristal sulfat mangan per tahun.

Harjanto menguatkan, komitmen Kemenperin dalam memacu kendaraan listrik terwujud dari inisiasi pembuatan peta jalan pengembangan industri otomotif nasional, yang salah satunya fokus pada produksi kendaraan emisi karbon rendah atau Low Carbon Emission Vehicle (LCEV).

“Pada program LCEV itu termasuk di dalamnya adalah kendaraan listrik. Selain itu, kami juga sudah menyelesaikan pengkajian terhadap rancangan Peraturan Presidententang kendaraan bermotor listrik,” tuturnya.

Langkah lain yang perlu dilakukan dalam rangka memperkenalkan kendaraan ramah lingkungan, di antaranya terkait kenyamanan berkendara oleh para pengguna, infrastruktur pengisian energi listrik, rantai pasok dalam negeri, adopsi teknologi, dan regulasi.

“Regulasi itu termasuk juga dukungan kebijakan fiskal agar kendaraan electrified vehicle dapat dimanfaatkan oleh para masyarakat pengguna tanpa harus dibebani biaya tambahan yang tinggi,” imbuhnya.

Harjanto menyebutkan, misalnya dukungan insentif fiskal berupa tax holiday atau mini tax holiday untuk industri komponen utama seperti produsen baterai dan pembuat motor listrik (magnet dan kumparan motor). “Kami juga telah mengusulkan super tax deductions sampai dengan 300 persen untuk industri yang melakukan aktivitas R&D&D (research and development, and design),” ujarnya.

Related