Kementerian Riset & Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) bertekad merevitalisasi pendidikan tinggi vokasi agar sejajar dengan institut dan universitas. Sebab, selama ini masih ada persepsi di masyarakat bahwa vokasi dan politeknik kurang bergengsi ketimbang perguruan tinggi lain.
Ada beberapa program revitalisasi yang akan dilakukan Kemenristekdikti mulai anggaran tahun 2017. Pertama, mendorong agar program D3 agar menjadi D4, sehingga setara dengan S1.
Kedua, lulusan politeknik harus memenuhi kebutuhan industri. Targetnya, semua lulusan politeknik atau vokasi harus memiliki sertifikasi keahlian, selain ijazah.
“Anda akan menghadapi persaingan global. Negara manapun di dunia, politeknik selalu menjadi garda terdepan pembangunan ekonomi. Kami akan dorong politeknik sebagai garda terdepan pendidikan di Indonesia,” ucap Menteri Risetdikti Mohamad Nasir di hadapan para mahasiswa saat berkunjung ke Politeknik Manufaktur Negeri Bandung (Polman) di Dago, Bandung, Kamis (2/11/2016).
Ketiga, kementerian akan menyiapkan seperangkat kebijakan terkait revitalisasi politeknik, antara lain pengadaan barang dan alat, serta program sertifikasi dan kurikulum. Termasuk, keharusan mengikuti tes Saringan Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri atau SNMPTN untuk masuk ke vokasi dan politeknik. “Ada 12 politeknik di Indonesia yang akan direvitalisasi, termasuk Polman,” ujar Nasir.
Dia mengakui bahwa masih ada stigma politeknik menjadi jalur pendidikan kelas dua. Padahal, dengan bobot pengajaran 70% praktik dan 30% teori, lulusan vokasi dan politeknik memiliki value yang lebih tinggi untuk diserap dunia kerja.
“Saya ingin jangan lagi politeknik dianggap kelas dua. Ia harus melahirkan lulusan yang kompeten,” katanya.
Nasir bilang, alasan pihaknya memilih 12 politeknik karena anggaran kementeriannya terbatas. Untuk revitalisasi ini, Kemenristekdikti mengalokasikan anggaran sebesar Rp 200 miliar yang digunakan untuk peningkatan kualitas laboratorium, standarisasi dosen, dan penyesuaian kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan industri.
“Dosen juga didorong untuk S2 dan S3. Selain itu, pendidikan vokasi juga akan sampai level doktor dan master. Jika program tersebut tidak ada, bisa dicari ke luar negeri,” tambahnya.
Moratorium Universitas
Sementara itu, agar kementeriannya fokus merevitalisasi vokasi dan politeknik, Nasir akan membuat seperangkat regulasi yang mengatur moratorium untuk pembangunan perguruan tinggi akademik, di luar STEM (Science, Technology, Engineering, dan Mathematics).
“Perguruan tinggi akademik sudah terlalu banyak. Kami akan dorong pembangunan politeknik di Indonesia. Namun, untuk beberapa daerah, mungkin universitas atau institut masih bisa dibangun,” ujarnya.
Patdono Suwignjo, Direktorat Jenderal Kelembagaan Kementerian Risetdikti menuturkan, pihak swasta selama ini lebih tertarik membangun universitas dan institut, namun jarang yang ingin membangun politeknik. Alasannya, selain minat calon mahasiswa yang tak banyak, juga secara bisnis politeknik dianggap tak begitu menguntungkan.
“Makanya, kami ingin swasta juga bangun politeknik. Jangan 100% pemerintah,” paparnya di lokasi yang sama.
Beruntung, ada beberapa perusahaan swasta yang berinisiatif untuk membangun politeknik. Seperti Politeknik Enjinering Indorama (PEI) yang dibangun oleh Indorama Group pada tahun 2013. Politeknik ini dibangun di atas lahan 6 hektare dengan nilai investasi sebesar Rp 23 miliar yang sebagian besar berasal dari dana CSR perusahaan.
“Kami baru melakukan wisuda angkatan pertama tahun ini, dan 50% wisudawan kami sudah bekerja di berbagai perusahaan, baik lokal maupun asing,” ungkap Resdiansyah, Direktur PEI.