Pemerintah tengah mengevaluasi harga gas untuk tujuh golongan industri. Saat ini, ketujuh golongan industri tersebut menerima harga gas industri sebesar US$ 6 per mmbtu.
Sub-koordinator Penyiapan Program Pemanfaatan Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Syarifudin Setiawan mengatakan evaluasi harga gas itu masih dalam tahap diskusi. Namun, dari evaluasi nanti tidak menutup kemungkinan adanya penyesuaian harga gas industri.
“Bisa jadi hasil akhirnya adalah merupakan memang penyesuaian kembali harga yang saat ini USD 6 per MMBTU bisa berubah. Salah satunya itu ya kemungkinan,” kata Syafrudin di Jakarta, Kamis (25/8/2022).
Tak hanya penyesuaian harga, evaluasi turut memperdalam perluasan golongan industri yang akan memperoleh insentif Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Saat ini, Kementerian ESDM masih menunggu rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Industri yang ingin mendapat rekomendasi tersebut harus mengajukan data pendukungnya terlebih dahulu.
“Jadi semacam mencalonkan diri atau mengusulkan untuk menerima HGBT ini dengan data-data pendukungnya, kemudian beliau-beliau akan mengevaluasi dan jika memang diusulkan, direkomendasikan untuk menerima HGBT maka akan disampaikan ke Kementerian ESDM,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengungkapkan penetapan harga gas memang harus memegang prinsip keadilan, dengan memperhatikan sektor hulu ke hilir. Dia berpendapat, sebaiknya HGBT tidak dipatok selamanya sebesar US$ 6 per MMBTU sehingga dapat menarik investasi pembangunan infrastruktur jaringan gas bumi.
“Kalau harganya dipatok beban cost-nya juga menjadi terbatas ya, sedangkan kita tahu bahwa harga gas ini menjadi salah satu kunci dalam menuju transisi energi ketika infrastruktur ini tidak berjalan. Saya khawatir nanti apa yang dicita-citakan yang diamanatkan bahwa kita akan mencapai net zero emission pada tahun 2060 bisa saja terganggu,” ucap Mamit.
Dia juga meminta pemerintah mengkaji ulang rencana perluasan penerima insentif harga gas menjadi 13 golongan industri. Dampak perluasan insentif itu disinyalir berpeluang menambah beban negara saat golongan industri penerima tidak bisa menyerap gas yang dialokasikan.
“Saya kira perlu kembali dipertimbangkan bahwa baik buruknya dan benefitnya seperti apa multiplier effect-nya seperti apa sebelum ada wacana untuk perluasan menjadi penambahan golongan industri,” tuturnya.