Kenali Kebiasaan Spiritual Saving di Kalangan Gen Y dan Gen Z

marketeers article
family, children, money, investments and people concept close up of father and daughter hands holding euro money coins

Sebelum era digital, kesadaran beragama setiap individu cenderung muncul di fase middle-aged crisis (45-64 tahun) serta later-life crisis (60 tahun), yang bisa dilihat pada generasi Baby Boomers dan generasi X. Kondisi hari ini berbeda ketika kesadaran beragama pada individu sudah berproses di usia muda, seperti yang dialami milenial dan generasi Z.

Riset Varkey Foundation menyebutkan 93% responden generasi Z Indonesia (usia 18-21) percaya bahwa komitmen terhadap agama menjadi salah satu faktor penting kebahagiaan bagi mereka. Persentase ini cukup tinggi dibandingkan rata-rata dunia yang hanya sebesar 44%. Kesadaran tersebut tercermin dalam dua pilar besar, yaitu relasi dengan Tuhan serta relasi dengan manusia. Relasi dengan Tuhan merupakan praktik ibadah sehari-hari. Sementara, relasi dengan manusia bisa dilakukan lewat amalan baik yang memberikan manfaat bagi hidup orang lain.

Jika dilakukan dengan ikhlas, amalan tersebut akan menjadi spiritual saving bagi seseorang, yang mana kebaikannya terhadap sesama akan memperoleh pahala dari Tuhan. Memupuk kebiasaan spiritual saving dipandang perlu dilatih dan dikelola secara serius.

Menurut Putri Madarina, perencana keuangan dan investasi syariah memandang amalan baik yang melibatkan pengeluaran atas harta pribadi adalah salah satu ujian keimanan paling menantang. “Sederhananya, berinvestasi untuk mengharap berkah Tuhan. Salah satu praktik paling mudah dan umum dilakukan adalah menyisihkan harta kita lewat sedekah atau sumbangan,” ujar Putri.

Menurutnya, konsep sedekah berbeda dengan zakat, yang mana dalam hukum Islam zakat adalah perintah wajib bagi umat Islam dan memiliki proporsi yang jelas, yakni 2,5% dari penghasilan. Sementara sedekah tidak memiliki besaran nilai tertentu serta sifatnya merupakan anjuran.

Berdasarkan data persentase pengeluaran millennial dalam Indonesian Millennial Report tahun 2019 oleh IDN Times Media, 51,1% dari penghasilan digunakan untuk kebutuhan rutin bulanan seperti konsumsi dan transportasi sehari-hari. Untuk tabungan sebesar 10,7%, dan sisanya terbagi lagi untuk cicilan hutang, hiburan, dan internet. Milenial sudah memperhitungkan alokasi untuk aktivitas sosial seperti zakat dan sedekah sebesar 5,3% dari penghasilan.

Menurut Putri, saat ini generasi milenial diberikan privilege untuk menentukan preferensi sasaran sedekah serta cara menyalurkan sedekah yang berbasis teknologi dan online. Salah satunya memanfaatkan situs crowdfunding. Melalui situs situs crowdfunding tujuan donasi pun beragam, mulai dari bantuan medis, bencana alam, pembayaran hutang, renovasi masjid, hingga bantuan pendidikan.

“Cara ini sesuai bagi karakteristik milenial dan Gen Z yang disibukkan dengan aktivitas bekerja dan kuliah sehingga mengalami keterbatasan dalam mengakses lembaga sosial maupun rumah ibadah yang membutuhkan. Cara sedekah ini dapat dipilih bagi mereka yang memiliki perhatian personal pada isu tertentu, seperti anak-anak, kelompok marjinal, atau infrastruktur masyarakat.”

Selain crowdfunding, ada pula fitur donasi digital. Donasi digital biasanya dihadirkan dalam layanan e-wallet seperti Go-Pay, OVO, dan LinkAja. Nantinya donasi ini bisa disasarkan kepada rumah ibadah dan yayasan yang telah memiliki QR Code yang terdaftar. Karakteristik milenial dan Gen Z yang terbiasa dengan budaya cashless membuat mereka cenderung mengendapkan saldo di aplikasi pembayaran dan e-money sebagai cara bertransaksi.

Bagi Putri, dengan menyisihkan 10% pengeluaran harian untuk sedekah dapat melatih komitmen terhadap konsep spiritual saving. Bila masih ragu untuk bersedekah, mindset yang harus ditanamkan dalam benak ialah sedekah sebagai investasi spiritual. Layaknya sebuah investasi, maka kita akan mendapatkan return dalam wujud berkah dari Tuhan.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related