Oleh Shilpi Sud, Associate Partner dan Jessica Christie, Associate Quantum
Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar, Ramadan di Indonesia selalu dirayakan dengan megah dan istimewa. Perayaan bulan suci ini dimulai dari malam pertama sahur dan terus berlanjut hingga 2 hari Idulfitri.
Perayaan dimulai dari shalat tarawih, acara buka puasa bersama, saling bertukar bingkisan atau hampers, belanja pakaian baru, hingga berkumpul bersama keluarga, kerabat dan teman-teman. Menariknya, keriaan ini tidak hanya dirayakan dan dinikmati oleh umat muslim, namum “demam” buka puasa bersama dan Idulfitri selalu menjadi hal yang dinanti-nanti oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai momen untuk bersilahturahmi dan reuni.
Tentunya, perayaan Ramadan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, tetapi bisnis pun turut serta dalam perayaan ini –seperti hadirnya promo spesial Ramadan, launching produk khusus, promo Ramadan & Lebaran juga spesial hampers Ramadan.
Akan tetapi, pandemi COVID-19 mengubah hidup kita juga bagaimana kita merayakan Ramadan dalam tiga tahun terakhir. Tahun 2020 adalah tahun pertama dimana kita merayakan Ramadan penuh dengan keterbatasan, namun Ramadan kali itu dapat menjadi sesuatu yang dipenuhi dengan harapan dan optimisme.
Walaupun tidak bisa berkumpul dengan keluarga dan kerabat, masyarakat Indonesia tetap bersemangat bersilahturami walaupun secara virtual. Hal ini menandakan bagaimana tradisi dan budaya masih tetap bisa mengalahkan tantangan-tantangan yang tak terduga.
Sayangnya, optimisme yang sangat kuat tertanam pada tahun 2020 tidak berlanjut ke Ramadan tahun-tahun setelahnya. Sentimen masyarakat berubah drastis saat memasuki Ramadan tahun 2021.
Pandemi yang berkelanjutan dan tidak kunjung berakhir menimbulkan rasa jenuh dan frustasi pada masyarakat yang merindukan kontak sosial, tetapi di lain sisi tetap ada rasa khawatir dan was-was yang kuat sehingga membuat masyarakat ragu untuk berinteraksi dengan orang-orang di luar keluarga inti.
Meskipun vaksinasi sudah cukup meluas dan sudah diberlakukan pengurangan dalam pembatasan sosial, masyarakat Indonesia masih belum percaya bahwa situasi pandemi sudah teratasi dan sudah aman untuk berkumpul kembali.
Berdasarkan program digital listening Quantum Consumer Solutions, didapatkan bahwa sentimen masyarakat pada periode Ramadan 2021 masih berpusat pada rasa waspada dan mawas terhadap virus COVID-19.
Tingginya jumlah kasus COVID-19 pada saat itu makin menimbulkan rasa takut sehingga masyarakat Indonesia lebih memilih untuk tetap merayakan Ramadan dalam penuh keterbatasan demi menjaga kesehatan keluarga mereka.
Memasuki tahun 2023, masyarakat Indonesia mulai bertransisi menuju kehidupan sebelum pandemi COVID-19. Akan tetapi, kekhawatiran akan ancaman resesi global sepertinya akan kembali membuat kita merayakan Ramadan dengan penuh berhati-hati.
Belum lama ini media sosial diguncangkan oleh berita seputar inflasi, resesi, dan PHK massal yang dialami perusahan dalam dan luar negeri. Secara tidak langsung, konsumen mulai mempersiapkan mental mereka untuk kembali merayakan Ramadan secara terbatas – kali ini bukan lagi mobilitas yang menjadi terbatas, akan tetapi finansial dan pengeluaran yang akan menjadi terbatas.
Walaupun tunjangan hari raya (THR) akan memungkinkan perayaan Ramadan yang sesuai dengan tradisi kita, konsumen Indonesia sudah bersiap-siap untuk mengendalikan pengeluaran mereka supaya tidak berbelanja secara berlebihan.
Meski tanpa ancaman resesi global dan inflasi, harga sembako selalu naik menjelang Ramadan. Pada tahun 2022, harga satu ekor ayam naik sampai Rp 10.000 saat Ramadan, sedangkan harga bawang merah naik sampai Rp 5.000 per kilonya.
Alhasil tahun 2023, konsumen akan cenderung untuk berpikir dua kali sebelum mengeluarkan uang – dan ini tentunya akan berdampak pada bagaimana mereka akan merayakan Ramadan, tetapi apakah yang akan berbeda dibandingkan Ramadan tahun-tahun sebelumnya?
Berdasarkan interaksi kami dengan konsumen-konsumen Indonesia, Quantum Consumer Solutions menemukan adanya lima aspek utama perayaan Ramadan yang menurut konsumen akan paling terpengaruh pada tahun 2023.
Mudik Lebaran
Salah satu tradisi yang paling ditunggu-tunggu saat Lebaran adalah mudik ke kampung halaman. Saat pandemi, bertemu keluarga dan kerabat harus dilakukan secara virtual karena tingginya rasa waspada dan berhati-hati terhadap virus COVID-19.
Walaupun merayakan Ramadan secara virtual adalah alternatif yang tetap menghubungkan masyarakat, banyak yang merasa berhubungan secara virtual itu melelahkan dan tidak lagi menyenangkan. Aktivitas yang harusnya menjadi rehat dari kehidupan sehari-hari dibuat menyerupai lingkungan kerja atau belajar karena semuanya dilakukan dari layar komputer atau ponsel.
Tahun ini, masyarakat Indonesia tentunya dengan penuh semangat menantikan kesempatan untuk mudik dan kembali berkumpul bersama keluarga. Terlebih lagi, mudik tahun ini terasa lebih istimewa karena ini juga akan menjadi perayaan keluar dari masa pandemi yang penuh dengan perjuangan.
Akan tetapi, ancaman resesi yang akan datang membuat masyarakat merasa mereka harus mempersiapkan dengan sangat baik dan kian penting untuk merencanakan keuangan mereka sehingga mereka masih bisa merayakan Lebaran seperti sebelumnya.
Perencanaan mudik yang dulunya mungkin hanya seputar mode transportasi dan tanggal terbaik untuk berangkat menuju kampung halaman, namun kini akan menjadi lebih rumit. Mulai dari membandingkan mode transportasi terbaik, berapa nominal THR yang harus dipersiapkan untuk kerabat-kerabat, hingga harus mulai menabung dan menyisihkan uang dari jauh-jauh hari agar tidak kekurangan saat menjalani mudik nanti.
Sahur & buka puasa
Dengan resminya pencabutan PPKM di Indonesia, masyarakat kini mengharapkan dapat kembali merasakan sifat kolektif dari buka puasa bersama (bukber) pada Ramadan tahun ini.
Namun, konsumen menyadari bahwa mereka tidak bisa melakukan acara buka bersama semeriah tahun-tahun lalunya karena ada kecemasan dari ancaman resesi global.
Walaupun konsumen akan tetap melakukan buka bersama, mereka akan melakukan kompromi untuk pengeluaran mereka dengan mengurangi jajan, mengunjungi kafe ataupun berkumpul di restoran untuk menghemat uang.
Para ibu-ibu Indonesia juga mengakui mereka sekarang dengan semangat belajar resep-resep baru supaya mereka bisa masak hidangan yang nikmat dan seru sehingga mengurangi keperluan membeli lauk dari luar.
Walaupun mereka mungkin tidak akan melewatkan kesempatan makan diluar atau berjajan, tetapi mereka akan menanti setelah mereka mendapatkan THR mereka untuk bisa melakukan tradisi Ramadan ini.
Kebutuhan berbelanja
Selama masa pandemi kemarin, pilihan tempat belanja konsumen pun berubah karena mereka beralih untuk lebih fokus ke masakan dan makanan rumahan daripada makan keluar.
Berbelanja di pasar diamati mengalami penurunan saat pandemi kemarin karena konsumen lebih memilih untuk berbelanja lewat online e-commerce platform dan ke toko swalayan.
Supermarket dan hypermarket menjadi tempat belanja pilihan karena tempat-tempat tersebut menawarkan protokol kebersihan dan perlindungan dari COVID. Tidak seperti di pasar tradisional. Adanya bermacam-macam promosi dan penurunan harga membuat toko-toko kelontong ini semakin diminati oleh para konsumen.
Konsumen kini memiliki keinginan tinggi untuk terus masak di rumah dan mencari resep-resep mudah dari makanan terkenal agar mereka bisa berhemat. Maraknya promosi dan pilihan digabung dengan bagaimana konsumen sudah terbiasa dengan kenyamanan dan kepraktisan dari platform belanja online dan hypermarket, akan membuat tempat-tempat belanja ini masih menjadi pilihan konsumen tahun ini.
Berbelanja hadiah
Karena pandemi membatasi kemampuan kita untuk berinteraksi, banyak masyarakat yang beralih ke memberikan hadiah, mengirimkan makanan, hampers atau parsel untuk tetap menjaga keeratan hubungan.
Kiriman-kiriman hadiah ini cenderung dipersonalisasi untuk penerimanya dalam menunjukan kasih sayang dan kedekatan mereka. Halangan untuk berinteraksi secara langsung membuat anggaran mereka untuk memberi hadiah meningkat pada 3 tahun pandemi ini.
Namun, dengan ancaman resesi pada tahun 2023 membuat mereka sadar untuk memprioritaskan pengeluaran mereka. Dilema yang dirasakan oleh konsumen untuk tetap bisa memberikan bingkisan untuk orang-orang yang dikasihi dengan keterbatasan pengeluaran, merupakan tantangan yang mereka hadapi.
Kebiasaan kecantikan
Konsumen merasa bahwa Ramadan adalah moment terbaik untuk merawat diri karena mereka ingin terlihat dan tampil terbaik untuk menyambut Hari Suci Kemenangan.
Namun, mengingat resesi, konsumen merasa mereka perlu memilih-milih perawatan mana yang akan mereka lakukan –beberapa perawatan seperti creambath akan tetap mereka lanjutkan, tetapi tidak untuk perawatan dokter kulit karena dinilai lebih mahal.
Brand lokal tetap akan menjadi pilihan konsumen karena kualitasnya yang tinggi namun dengan harga yang lebih murah – termasuk di dunia kecantikan dan petawatan pribadi.
Konsumen dengan penuh antusias dan semangat menunggu bulan suci Ramadan tahun 2023. Namun, ketidakpastian stabilitas finansial semakin jelas terlihat di benak konsumen.
Solusi konsumen untuk ini bukanlah dengan mengurangi pengeluaran mereka, melainkan mencari penawaran yang memberikan value for money yang tinggi. Mereka juga cenderung memilih merek-merek lokal untuk saling membantu masyarakat Indonesia. Dan terakhir, mereka akan mengurangi pengeluaran untuk kesenangan pribadi dan lebih mementingkan pengeluaran-pengeluaran yang sangat diperlukan saja.
Dari sini, pada brand perlu mencari cara baru untuk terlibat di dalam kehidupan konsumen mereka sehingga brand-brand ini bisa menjadi relevan dengan konsumen-konsumen yang mencari nilai-nilai ini dalam kehidupan keseharian mereka.