Oleh Ignatius Untung, Praktisi Marketing & Behavioral Science
“A good product is the best advertising.” Produk yang baik adalah iklan terbaik. Begitu pepatah yang jadi pegangan banyak pemasar saat awal saya bekerja di dunia marketing. Kita melihat bagaimana restoran-restoran yang jauh dari kata mewah, namun memiliki rasa luar biasa bisa menjual habis dagangannya dalam hitungan jam tanpa sepersen pun mengeluarkan bujet pemasaran.
Produk-produk digital, seperti Facebook, Google, Twitter, Spotify, dan Netflix masuk Indonesia juga dengan minim belanja marketing. Memang benar, produk yang bagus tidak membutuhkan marketing di mana orang rela antre untuk mendapatkannya. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah semua produk bagus pasti mudah dipasarkan?
Data menunjukkan bahwa 70%-80% produk baru gagal di pasaran. Di antara produk-produk yang gagal tersebut, terdapat produk yang sebenarnya sangat kompetitif fitur dan kualitasnya. Selain karena faktor kualitas produk, tidak sedikit kegagalan-kegagalan ini dipicu oleh kenaifan di bidang pemasaran.
Kenaifan pertama adalah berpikir bahwa kesuksesan berbisnis bergantung pada bagus atau tidaknya produk yang kita punya. Karena itu, sebagian besar waktu dari mereka yang ada di kelompok ini dihabiskan untuk menciptakan produk yang baik. Sayangnya, ternyata tidak sedikit produk baik yang gagal mendapatkan market traction.
Produk sebagus apa pun kalau tidak ada yang tahu, maka tidak ada yang akan tergerak untuk mencoba. Mereka yang ada di kelompok ini seringkali berakhir dengan frustrasi mengenai mengapa produk yang sedemikian bagusnya tidak banyak mendapat sambutan positif dari konsumen.
Kelompok naif kedua adalah mereka yang kemudian berpikir bahwa untuk membuat produknya laku, dibutuhkan iklan yang menarik. Mengapa hal ini saya kategorikan sebagai naif? Sebab, pengalaman membuktikan bagaimana iklan-iklan yang menarik tidak serta-merta membantu penjualan.
Pemasar zaman now paham betul bagaimana dalam berbagai kesempatan mereka harus memikul tanggung jawab untuk membuat iklan yang viral ketimbang iklan yang menjual. Akhirnya, banyak iklan yang viral, namun gagal menjual.
Pengalaman ini mengajari kita bahwa segala sesuatu yang baik tidak secara otomatis mendorong penjualan, baik produk yang baik atau iklan yang baik. Maka dari itu, ada ajang penghargaan advertising effectiveness award. Ini lebih ke bagaimana memberi penghargaan iklan-iklan yang bukan hanya menarik, tapi juga memberikan dampak penjualan yang baik.
Dalam kehidupan sehari-hari kita disadarkan oleh betapa kualitas produk dan kualitas komunikasi tidak selalu menentukan kesuksesannya. Misalnya, bagaimana kita tahu betapa sehatnya sayur dan buah-buahan tidak lantas membuat kita membelinya. Kita juga melihat bagaimana produk-produk makanan yang sebenarnya tidak sehat, tidak lantas membuat kita menghindarinya.
Bahkan lebih ekstrem lagi, produk-produk yang menawarkan fitur bagus tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk merebut pangsa pasar dari produk yang kurang baik. Lihatlah, bagaimana pemain-pemain digital menggelontorkan uang triliunan rupiah dalam belanja marketing untuk membajak konsumen produk atau jasa sejenis yang masih bertransaksi offline.
Pemain e-money berlomba adu besar cashback untuk membuat mereka yang selama ini bertransaksi dengan uang tunai. Tidak jarang pula konsumennya menggunakan kembali uang tunai ketika transaksi selesai.
Hal yang sama dialami pemain marketplace, ojek online, dan berbagai pemain digital lain. Mereka menggelontorkan uang banyak untuk memindahkan cara belanja mereka, namun tidak semudah itu mereka rebut pangsa pasar offline. Tidak sedikit pula yang kembali berbelanja offline, bahkan ketika sudah mencobanya.
Efficient animal
Dalam banyak situasi, kita mengalami status quo bias, yaitu kecenderungan untuk terlalu nyaman dengan situasi atau produk yang biasa kita pakai, sehingga kita malas berubah. Ini terjadi bahkan ketika kita sadar dan tahu ada produk yang “mungkin” lebih baik dari itu. Otak manusia bekerja dengan mengejar efisiensi, memproses informasi, dan menjalani hidup dengan cara yang paling efisien. Salah satu caranya adalah dengan membentuk kebiasaan.
Ketika kebiasaan sudah terbentuk, termasuk untuk menggunakan produk tertentu, otak kita menjadi nyaman karena kita bisa melakukan sesuatu termasuk menggunakan produk yang masuk ke dalam habitual usage itu dengan tanpa berpikir.
Dengan menjalankan kebiasaan itu, kita bisa hidup baik-baik saja. Sementara, ketika berganti produk, otak kita akan dituntut untuk keluar dari kebiasaan dan lebih banyak menggunakan pilot mode berpikir ketimbang autopilot. Inilah yang mendorong status quo bias.
Kita malas untuk berpikir ulang dan keluar dari kebiasaan. Kita terjebak di bounded rationality, yaitu kecenderungan untuk mencari yang good enough ketimbang yang the best.
Bagi otak kita, menggunakan sesuatu yang cukup baik, namun minim risiko jauh lebih baik dibanding menggunakan sesuatu yang lebih baik, tapi ada risiko. Karena, otak manusia menghargai pain dua kali lebih besar dari pleasure.
Artinya, butuh pleasure sebanyak dua kali lebih besar untuk bisa mengimbangi pain yang mungkin muncul. Arti lainnya, pleasure dari produk yang lebih unggul sedikit tidak bisa menawar potensi risiko yang muncul dari berpindah dari produk yang sudah cukup baik.
Bounded rationality ini pula yang membuat hidup kita efisien. Bayangkan, jika setiap membeli sebuah produk kita selalu mencari yang terbaik, berapa banyak waktu yang akan kita habiskan untuk memutuskan makan siang. Berapa jam yang kita habiskan untuk berbelanja di supermarket.
Dalam berbagai situasi belanja, kita memilih sebuah barang dan move on ke kategori selanjutnya dengan kesadaran bahwa produk yang saya pilih good enough. Kita melakukan itu dengan kesadaran bahwa mungkin ada produk yang lebih baik, namun akan butuh lebih banyak waktu untuk benar-benar bisa mengetahui produk mana yang paling baik dan kemudian membelinya. Harga yang harus dibayar untuk menemukan produk terbaik itu, seringkali terlalu mahal, yaitu waktu yang harus kita keluarkan.
Pain avoidance animal
Manusia juga memiliki zero risk bias, yaitu kecenderungan untuk mencari sesuatu yang tidak ada risikonya. Dalam berbagai situasi manusia tidak berpikir seperti kalkulator. Kita tidak menghitung untung dan rugi dari kemungkinan berpindah dari produk satu ke produk lain. Kita menghargai produk yang saat ini kita pakai sebagai sesuatu yang sudah pasti baik-baik saja untuk kita.
Maka dari itu, walaupun produk baru menawarkan lebih banyak keunggulan, namun risiko kecil untuk kegagalan seringkali membuat kita gagal berpindah ke produk baru yang lebih baik.
Zero risk bias ini juga seringkali berawal dari ambiguity effect atau juga sering disebut sebagai certainty bias. Kita cenderung menghindari sesuatu yang tidak pasti, walaupun hal tersebut jelas-jelas memberi lebih banyak keuntungan.
Berpindah ke merek baru mengandung risiko ketidakpastian ketimbang menggunakan produk yang sudah biasa kita gunakan. Ini akan memicu certainty bias untuk muncul. Kita menjadi lebih enggan untuk berpindah ke merek sebelah.
Lazy animal
Manusia adalah mahluk yang malas. Hal yang baik ketika menuntut kita melakukan extra effort akan menyurutkan niat kita. Kita menyukai sesuatu yang mudah untuk kita, bahkan sesuatu yang sedikit sulit juga kita hindari. Sebuah percobaan untuk mendorong partisipasi donor organ di Eropa menunjukkan bahwa dengan mengganti proses untuk menjadi donor organ menjadi lebih mudah, berhasil mendongkrak partisipasi donor organ berkali lipat.
Dalam berbagai kesempatan, penawaran produk baru yang lebih baik mengalami hambatan hanya karena proses yang sedikit lebih rumit yang membutuhkan upaya lebih. Untuk itulah, beberapa tahun ini banyak perusahaan membangun divisi baru bernama customer experience yang bertanggung jawab untuk memastikan pengalaman pelanggan untuk menggunakan produk kita.
Solusi
Untuk bisa mendorong keberhasilan produk kita, terutama ketika produk kita jelas-jelas lebih baik, maka kita perlu mengatasi setidaknya tiga aspek di atas. Untuk mengatasi risiko, kita bisa melakukan sesuatu untuk memperbesar perceived pleasure-nya sekaligus mengurangi risiko ketidakpastian dari menggunakan merek baru tersebut. Banyak merek mendorong social proof dengan menunjukkan bagaimana banyak orang berlomba mendapatkan produk baru tersebut.
Di satu sisi, hal ini akan membuat benefit dan manfaatnya menjadi nyata akibat bukti bahwa banyak orang menggunakan merek baru tersebut dan senang menggunakannya. Di sisi lain, ini akan memunculkan gambaran risiko jika tidak menggunakannya. FOMO (fear of missing out) bisa menjadi ancaman yang bisa menggerakkan orang untuk membeli produk baru tersebut.
Social proof berupa banyaknya orang yang menggunakan produk tersebut juga menciptakan persepsi bahwa manfaat dari produk baru tersebut nyata, sekaligus mengeliminasi ambiguity atau ketidakpastian.
Rumus bahwa pain dihargai dua kali lebih besar dari pleasure tidak memaksa kita membuat produk baru yang memberikan fitur dua kali lebih kuat dari produk sejenis yang sudah ada di pasar. Karena pain dan pleasure yang ada di benak konsumen tidak selalu actual pain dan actual pleasure. Tapi, merupakan perceived pain dan perceived pleasure. Menggunakan social proof bisa meningkatkan perceived pleasure tersebut, bahkan ketika secara fitur keunggulannya tidak sampai dua kali dari produk sejenis.
Salah satu kesalahan yang juga akhirnya sering membuat penawaran tidak menarik adalah ketika keunggulan produk tidak ditampilkan dalam konteks yang relevan. Pembuat iklan seringkali terjebak untuk membuat iklan menarik untuk menarik perhatian dengan melakukan dramatisasi, namun gagal menyasar konteks relevan dari target pasar yang dituju.
Otak manusia yang malas, juga malas untuk menghubungkan pesan dalam iklan yang konteksnya tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Untuk bisa membangun konteks yang relevan, dibutuhkan kemampuan untuk bisa mengidentifikasi consumer insight sebagai target utama untuk diselesaikan dalam pesan pemasaran.
Kombinasi antara pesan dengan konteks yang relevan dengan social proof dalam banyak kasus berhasil memicu dopamine, hormon yang membangun ekspektasi di benak kita, sehingga kita bergerak untuk menginginkannya. Ketika dopamine terpicu kita seringkali terjebak di attentional bias, yaitu kecenderungan “terobsesi” dengan hal-hal yang memicu dopamine tadi. Ini akan memicu dan mempertahankan motivasi kita di level yang tertinggi.
Selanjutnya cara mendapatkannya, upaya untuk menggunakannya perlu dipermudah untuk mendorong processing fluency. Ini adalah tentang memperbaiki customer experience dari produk kita. Ketika ini semua dilakukan, maka kita telah memenuhi semua dalam rumusan behavior change, yaitu menaikkan motivasi, meningkatkan kemampuan (ability), dan memicu pergerakan (trigger).
Artikel ini telah tayang di Majalah Marketeers Edisi Mei 2022.