Gelombang demonstrasi usai Presiden Amerika Serikat Donald Trump merilis kebijakan melarang tujuh negara mayoritas Muslim masuk ke Amerika Serikat masih berlanjut. Tidak hanya di Amerika, gelombang protes ini juga terjadi di berbagai negara yang menilai kebijakan Trump ini tidak manusiawi dan menciderai solidaritas global.
Namun, tidak hanya Trump ternyata yang jadi sasaran protes warga AS sendiri. Rupanya Uber juga terkena batunya.
Di saat perusahaan teknologi lain mengais simpati lewat penolakan immigration ban, masyarakat AS ramai-ramai melakukan aksi menghapus aplikasi Uber dari smartphone mereka.
Hashtag #DeleteUber pun ramai di Twitter beberapa hari terakhir. Bahkan, selebriti seperti Lena Dunham dan George Takei pun ikut bersuara dengan aksi men-capture layar smartphone lewat gambar menghapus aplikasi tersebut.
Apa pasal? Seperti dilansir dari CNET, kemarahan publik AS diawali dari pernyataan CEO Travis Kalanick bahwa yang dilakukan Trump lewat immigration ban tidak akan terlalu mempengaruhi publik termasuk pengemudi Uber sendiri. Apalagi Kalanick termasuk dalam tim penasihat yang dibentuk Trump untuk sektor bisnis beberapa waktu lalu.
Publik langsung melihat bahwa Kalanick dan Uber-nya memang benar-benar pendukung Trump beserta kebijakan-kebijakannya yang dianggap kontroversial. Kasus kedua adalah kejadian di bandara JFK di New York. Sebagai salah satu pintu masuk ke wilayah AS, masyarakat melampiaskan kekesalan kepada Trump dengan demo di depan bandara.
Untuk menunjukkan sikap solidaritas, komunitas taksi di sekitar bandara memutuskan untuk tidak beroperasi sementara demi mendukung masyarakat antikebijakan Trump. Sayang sekali, di saat hampir bersamaan Uber malah mengumumkan penurunan tarif untuk tujuan bandara JFK. Sontak publik langsung menganggap Uber sebagai salah satu sumber kekacauan dan menilai mengambil benefit di saat tidak tepat.
Walau melakukan banyak pembelaan, #DeleteUber sudah kadung jadi trending. Masyarakat menunjukan screenshot aplikasi yang dihapus dan posting di Twitter. Padahal seperti dilansir dari The Verge, setelah insiden tersebut Kalanick langsung membalik pernyataan awal dengan pernyataan baru bahwa kebijakan immigration ban dinilai tidak adil.
Bahkan, mereka berjanji mengucurkan dana kompensasi sebesar US$ 3 juta untuk menutup kerugian pengemudi yang tidak bisa beroperasi karena kebijakan Trump. Tidak hanya dana kompensasi, Uber berjanji akan memberikan perlindungan hukum sepenuhnya.
Inkonsistensi Uber
Tapi semuanya seperti terasa terlambat. Uber dianggap sebagai perusahaan tidak konsisten. Publik menganggap apa yang dilakukan Uber setelah insiden bukan karena murni dan ikhlas menolak immigration ban, tapi demi kepentingan menyelamatkan nama baik perusahaan semata. Berbeda dengan sang kompetitor Lyft yang sedari awal memang konsisten dan lantang menyuarakan kecaman terhadap immigration ban.
Konsistensi mereka terus berlanjut dengan mendonasikan dana US$1 juta kepada organisasi non profit ACLU (American Civil Liberties Union) sebagai pembela hak-hak publik. Dalam pernyataan resmi lewat website Lyft, penyaluran dana tersebut sebagai bentuk dukungan untuk dunia yang beragam, inklusif, dan aman.
“Melarang seseorang masuk ke AS adalah antitesis dari value Lyft dan negara ini. Kami dengan tegas mengecam kebijakan immigration ban,” ujar dua Co-Founder Lyft John dan Logan.
Reaksi masyarakat AS pun berbuah dengan Lyft berada di puncak download terbanyak di App Store. Bahkan, Uber menurut CNET sengaja membeli cuitan Twitter dan posting Facebook berbayar demi tetap terlihat menunjukan dukungannya kepada para imigran.
Kesalahan Kalanick dan kawan-kawan jelas terlihat di sini. Selain memercik api di tengah kisruh dengan menunjukan sikap tidak mendukung suara masyarakat, langkah apa pun yang dilakukan Uber terus berdampak negatif terhadap nama merek. Seberapa positif pun itu. Terlepas dari soal immigration ban, andai mereka mendukung kebijakan antitesis kepada publik pun ada baiknya mereka tidak merilis pernyataan apapun yang bisa memicu kemarahan.
Uber juga dinilai tidak pintar melihat situasi di tengah menurunnya nama merek mereka terutama soal insiden di bandara. Dengan mulai berpalingnya pengguna Uber ke Lyft, isiden immigration ban memperlihatkan bahwa merek Uber ternyata tidak sekokoh yang dikira. Walau banyak digunakan secara masif dan dianggap solusi, perusahaan pimpinan Kalanick di satu sisi tidak terlalu disukai karena dinilai tidak memberikan kesejahteraan kepada para pengemudinya dengan bagi hasil kurang sebanding.
Selain kurang tanggap terhadap situasi dengan merilis pernyataan kurang tepat, Uber juga kerap dinilai irit bicara kepada media termasuk di Indonesia. Iritnya mereka untuk memberi pernyataan tepat kepada media dan publik justru menjadi backfire dengan impresi kurang baik di mata masyarakat. Walau masif digunakan, impresi kurang baik tentu saja membuat konsumen tidak akan loyal dan berpotensi beralih ke kompetitor.
Editor: Sigit Kurniawan