Indonesia tengah mempersiapkan diri untuk memanfaatkan Digital Economy Framework Agreement (DEFA) guna bersaing di pasar domestik dan ASEAN. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran, menekankan bahwa e-commerce harus dilihat sebagai kesatuan yang melibatkan berbagai elemen seperti produk berkualitas, perlindungan data, keamanan siber, sistem pembayaran, platform kompetitif, dan kebijakan yang tidak proteksionis.
Menurut Hasran, produk berkualitas, terutama dari UKM, sangat penting untuk bersaing. Standarisasi dan sertifikasi produk perlu didorong sebagai indikator kualitas.
Selain itu, cross-border e-commerce yang melibatkan pertukaran data konsumen membutuhkan perlindungan data yang memadai untuk mencegah kebocoran.
Meskipun Indonesia sudah memiliki Undang-Undang No. 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP), peraturan pelaksananya belum dikeluarkan.
BACA JUGA: Kehadiran Ecommerce Membuat Penjualan Oli Palsu Kian Sulit Dibendung
Kebijakan larangan impor lewat e-commerce untuk produk di bawah US$ 100 per item juga perlu ditinjau kembali. Regulasi ini menghambat impor dan bisa memicu retaliasi dari negara anggota lain. DEFA harus dilihat sebagai peluang untuk memaksimalkan potensi ekonomi digital Indonesia.
“Jika diimplementasikan, DEFA akan memperkuat integrasi digital ASEAN dan meningkatkan transaksi ekonomi,” kata Hasan dalam siaran persnya kepada Marketeers, Senin (22/7/2024).
BACA JUGA: AHA Commerce Sukses Raup Peluang Potensi Bisnis Ecommerce Enabler
DEFA diharapkan dapat memperlancar transaksi e-commerce lintas batas dan memaksimalkan ekspor ke negara ASEAN lainnya. Indonesia, yang merupakan negara dengan cross-border ekspor terbesar kedua di ASEAN setelah Singapura, dapat memanfaatkan DEFA untuk memperluas pasar bagi produk UMKM berkualitas ke negara anggota ASEAN lainnya
Dengan memanfaatkan DEFA, Indonesia bisa meningkatkan transaksi e-commerce lintas batas, memaksimalkan ekspor, dan memperkuat integrasi digital ASEAN.
