Ketatnya Persaingan di Industri Ritel dan Properti Merebut Hati Konsumen
Industri ritel di Indonesia memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih pada tahun 2017 lalu, industri ritel di Indonesia mengalami pasang surut. Beberapa pemain besar baik di sektor fesyen ritel, ritel department store, hingga minimarket sudah terlebih dahulu ‘pamit’ dari industri ritel Tanah Air.
Di tengah segala dinamika yang terjadi di industri ritel bukan berarti para brand yang ada di dalamnya diam di tempat. Beberapa pelaku ritel melakukan serangkaian inovasi hingga ekspansi untuk memperluas cengkaraman bisnisnya.
Industri ritel di negeri ini memang ketat dan sarat dengan persaingan yang panas. Gulung tikarnya pemain-pemain besar menjadi salah satu bukti bahwa konsep survival for the fittest benar adanya. Peta persaingannya juga cenderung dinamis di beberapa sektor. Bahkan untuk sektor tertentu, rentan Brand Advocacy Ratio (BAR) amat tipis jaraknya. Bahkan untuk kategori minimarket, dua nama besar Alfamart dan Indomaret berbagi angka BAR yang sama, 0,79.
Keduanya memang terkenal merajai industri minimarket di Indonesia. Tidak jarang pula, kita akan mendapati lokasi kedua ritel minimarket ini berseberangan atau bahkan berdamping-dampingan. Seakan-akan kompetisi keduanya adalah kompetisi yang abadi.
Menurut data Nielsen, jumlah gerai Indomaret berada pada angka 14.200 gerai per September 2017. Sementara Alfamart memiliki 13.376 gerai. Lokasi yang berdekatan dan jumlah mereka yang hampir pasti ada di setiap belokan jalan, menjelaskan alasan bahwa keduanya berbagi angka BAR yang sama.
Kedua gerai ini sebenarnya memiliki model bisnis dan produk yang hampir sama persis. Barang-barang yang diperjual belikan juga kebanyakan adalah barang-barang keseharian yang memang dicari oleh konsumen sehari-hari. Maka, tidak aneh bila konsumen akan merekomendasikan dua brand ini.
Indomaret Plus, Indomaret Fresh, dan Alfa Midi hadir dalam ukuran yang lebih besar. Selain menjual barang kebutuhan sehari-hari, di dalam gerainya juga dijual barang-barang segar seperti sayur, buah, dan daging. Sementara Indomaret Point lebih menonjolkan sisi santai, karena konsep dari gerai ini menjadi tempat nongkrong dengan disediakannya makanan cepat saji dan kursi untuk membuat konsumen betah.
Sektor berikutnya yang memiliki rentan BAR yang tipis adalah sektor properti. Rentan BAR di dalamnya hanya berkisar 0,02. Di sektor ini muncul nama PT Summarecon Agung Tbk sebagai brand yang memiliki angka BAR terbesar, yakni pada angka 0,52. Posisi Summarecon Agung diikuti oleh Agung Sedayu dan Agung Podomoro pada peringkat dua dan tiga.
Uniknya, meski memiliki tingkat BAR yang tinggi dibanding brand lainnya, tingkat Purchase Action Ratio (PAR) hanya menyentuh angka 0,12. Tentu ini menjadi permasalahan sendiri. Brand Anda banyak direkomendasikan tetapi hanya sedikit yang mengonversinya menjadi sebuah pembelian.
Hal ini bisa dimaklumi bahwa properti bukan produk yang dibeli konsumen berkali-berkali, mengingat saat ini harga properti memang tidak bisa dibilang murah dan terjangkau oleh semua kalangan. Summarecon Agung jelas-jelas menyasar kalangan menengah ke atas melalui serentetan proyeknya. Di tambah di saat yang bersamaan, tahun 2017 bukan tahun yang menguntungkan untuk sektor properti
Namun, apa yang dibangun oleh Summarecon Agung ternyata tidak hanya sekadar perumahan saja. Di beberapa proyeknya, Agung Summarecon menyematkan embel-embel township sebagai salah satu fitur yang mereka jual.
Satu sektor yang menarik disimak adalah sektor perlengkapan dan perabot rumah tangga. PT Ace Hardware Tbk masih merajai sektor satu ini. Angka BAR yang diraih adalah 0,73 dan 0,63 angka PAR. Ace Hardware masih unggul bila dibandingkan Informa dan Columbia.
Bila dianalisis, secara ketersediaan produk dan persebaran gerai, Ace Hardware memang mengungguli kompetitor lainnya. “Yang membuat Ace Hardware bertahan sebagai salah satu merek yang paling direkomendasikan oleh pelanggan dalam kategori perabotan rumah tangga adalah konsistensi,” ujar Nana Puspa Dewi, Marketing Communication Director Kawan Lama Group.
Nana mengatakan, Ace Hardware konsisten dalam menyampaikan janjinya kepada pelanggan, yakni menjadi helpful place. Komitmen tersebut diwujudkan dalam konsistensi menjaga kualitas. Komitmen pada kualitas ini terdiri dari dua area, yakni komitmen pada produk dan servis. Untuk produk, kualitas ini diwujudkan dalam pengembangan produk sekaligus penambahan range atau jenis secara lengkap.
Untuk service, Ace Hardware selalu menawarkan servis yang juga mengusung helpful service. Di sini, bukan sekadar keramahtamahan, tetapi lebih dari itu. Misalnya, staff di toko harus memiliki product knowledge yang detail.
Selain itu, strategi omni channel juga menjadi andalan Ace Hardware saat ini. Setelah sekian lama unggul di ritel offline, Ace Hardware mengembangkan channel online. Hal ini diwujudkan dalam aplikasi, hadir di kanal digital dan sosial. Selain itu, Ace Hardware juga mengembangkan kanal ruparupa.com.
“Kami sangat menyadari pentingnya omni channel itu. Karena kami ingin memberi kesempatan pada customer untuk berbelanja anytime, anywhere. Bisa datang ke toko fisik atau toko online kami,” kata Nana.
Bicara ritel tentu tidak bisa lepas dari ritel online. Sektor satu ini disebut sebagai salah satu penyebab banyaknya ritel offline yang undur diri. Dari beragam pemain baik dalam dan luar negeri, nama Lazada muncul sebagai pemain ritel online yang paling banyak direkomendasikan.
Lazada berhasil meraih BAR sebesar 0,70 dan PAR 0,68. Angka yang diraih oleh Lazada ini cukup ideal. Sebab selain banyak direkomendasikan, konsumen juga banyak melakukan aktivitas belanja di platform tersebut.
Tokopedia dan Bukalapak harus puas di posisi dua dan tiga. Selisih antara BAR dan PAR di Tokopedia dan Bukalapak cukup mencemaskan. Tokopedia misalnya mendapatkan BAR sebesar 0,45, namun angka PAR-nya hanya di angka 0,18. Hal yang serupa juga dirasakan oleh Bukalapak.
”Kami percaya selain word of mouth, terdapat berbagai hal penting yang juga menjadi kunci dari performa Lazada,” ujar Achmad Alkatiri, CMO Lazada Indonesia.
Beberapa hal yang dimaksud Achmad Alkatiri adalah bentuk dari aplikasi yang customer friendly. Misalnya fasilitas pendukung transaksi konsumen seperti COD (Cash on Delivery), free delivery untuk setiap pembelian, hingga jumlah keragaman barang yang terus meningkat, baik dari brand terkemuka maupun dari seller UMKM di seluruh Indonesia. Dan tidak ketinggalan aneka penawaran menarik, eksklusif, serta diskon yang ditunggu konsumen setiap bulannya.
“Bagi Lazada, fokus utama kami adalah menghadirkan pengalaman berbelanja yang menyenangkan bagi setiap konsumen kami, dan ini diwujudkan melalui berbagai terobosan dalam bidang teknologi maupun dalam cara kami berinteraksi dengan konsumen kami,” imbuh Achmad Alkatiri.
Nah, ada satu kasus menarik di sektor ritel, yakni sektor makanan cepat saji. Hasil riset menemukan bahwa dari tiga brand KFC, McDonald’s, dan Richeese, semuanya memiliki angka PAR yang lebih tinggi dari angka BAR. Hal ini cukup mengherankan mengingat orang tetap mengonsumsi, namun cenderung tidak merekomendasikan.
Makanan cepat saji memang memiliki permasalahan sendiri. Terlebih saat ini masyarakat perlahan-lahan sadar akan makanan yang sehat. Embel-embel restoran cepat saji yang sudah kadung menempel di brand fast food membuat orang terkadang enggan untuk merekomendasikannya.
Tapi, di satu sisi konsumen juga tetap tidak bisa lepas dari restoran cepat saji karena restoran yang menyajikan makanan sehat justru mematok harga yang jauh lebih mahal dari makanan di restoran cepat saji. Sehingga, pada akhirnya konsumen akan kembali ke makanan di restoran cepat saji.
Nah, berdasarkan penjelasan itu, tentunya kita menyadari bahwa kompetisi yang ada di dalam industri ritel memang sangat ketat. Namun ada beberapa hal yang bisa membuat brand mampu bertahan dan melakukan ekspansi yang lebih besar lagi.
Editor: Eko Adiwaluyo