Dunia pemasaran saat ini sedang memasuki era baru, Marketing 5.0 di mana peran kolaborasi antara manusia dan mesin sangat menonjol. Tentunya, ini akan berpengaruh pada strategi merek agar tetap relevan di zamannya. Era ini didahului dengan setidaknya lima tren, yakni munculnya generasi digital savvy, gaya hidup phygital, dilema digitalisasi, berkembangnya teknologi, dan keharusan bersimbiosis antara manusia dan mesin.
“Terkait generasi digital savvy, generasi Z dan generasi Alpha makin besar jumlahnya seiring dengan makin berkurangnya generasi-generasi yang lebih senior, seperti Baby Boomers, Gen X, atau Gen Y yang sering dikenal dengan sebutan milenial. Kedua generasi baru tersebut tidak memiliki pengalaman hidup tanpa internet. Teknologi tak terpisahkan dari mereka dan mereka tak melihat batasan antara dunia online dan offline. Mereka juga memiliki pengaruh pada orang-orang tua mereka,” ujar Iwan Setiawan, CEO MarkPlus, Inc. dalam webinar “Branding in Marketing 5.0 Era” di ajang WOW Brand Festive Day 2020, Raby (4/11/2020).
Generasi-generasi melek teknologi itulah yang menjadi segmen pasar saat ini dan masa mendatang. Selain itu, muncul tren gaya hidup baru yang dinamakan phygital lifestyle. Gaya hidup ini mengacu pada perilaku orang-orang yang tidak lepas dari kehidupan fisik dan digital.
Tren phygital ini sudah lama kelihatan. Data McKinsey tahun 2014, seperti disitir oleh Iwan, mengatakan adanya tren gaya hidup ini yang ditandai oleh fenomena webrooming maupun showrooming. Interaksi dan transaksi pelanggan dilakukan melalui platform online dan offline. Ada konsumen yang browsing produk yang ia cari di internet, namun membeli produk itu langsung di toko fisik (webrooming). Ada pula yang mencari-cari produk di toko fisik, setelah menemukan produk yang dicari, mereka melakukan pembelian secara online (showrooming). Di era ini, e-commerce makin mendapat tempat.
“Tren gaya hidup hybrid ini makin menguat dengan adanya pandemi COVID-19. Di masa pandemi ini, digitalisasi mengalami percepatan. Semakin dibatasi di rumah, orang semakin kuat dalam beraktivitas secara online. Namun, orang-orang mulai rindu dengan sentuhan offline. Sebab itu, diprediksi gaya hidup phygital ini akan ngetren pascapandemi. Orang akan mencari sesuatu yang offline lagi, namun tidak meninggalkan online yang sudah menjadi kebiasaan selama pandemi,” kata Iwan.
Tren ketiga adalah munculnya dilema-dilema dalam arus digitalisasi tersebut. Tentunya, tidak gampang, para pemasar beradaptasi dengan dilema-dilema tersebut. Sisi negatif dari arus digitalisasi ini misalnya menguatnya otomatisasi yang membuat manusia khawatir akan kehilangan pekerjaannya karena perannya sudah digantikan oleh robot. Lalu, kepercayaan manusia saat ini dipertaruhkan pada sistem digital yang boleh dibilang berwajah abstrak. Belum lagi masalah keamanan data dan privasi, munculnya filter bubbledan era pascakebenaran yang diwarnai hoaks, serta efek-efek negatif lain dari perilaku dan hidup digital.
Di sisi lain, digitalisasi membawa tren positif, seperti terbangunnya ekonomi digital yang menciptakan sumber-sumber kemakmuran baru, berkembangnya sumber-sumber pembelajaran berbasis big data, berkembangnya smart living, kehidupan yang lebih awet dengan perkembangan teknologi medis, hingga berkembangnya inklusivitas sosial. “Dilema-dilema itulah yang mendorong orang suka menyebut a necesseray evil,” imbuhnya.
Tren keempat adalah makin berkembangnya faktor-faktor pendukung (enabler) teknologi. Intinya, teknologi semakin berkembang dalam aneka perangkat yang memiliki interkonektivitas yang makin sempurna.
Relasi antara manusia dan mesin makin menguat yang menandai tren kelima, yakni keharusan bersimbiosis antara manusia dan mesin. Di sinilah, strategi OMNI itu dibutuhkan. Strategi ini mengombinasikan antara offline dan online maupun antara manusia dan mesin. Dua-duanya saling tergantung dan membutuhkan. “Simbiosis ini sifatnya wajib untuk menghasilkan dampak yang paling optimal. Mesin memiliki peran untuk strukturisasi dalam kerja-kerja rutin. Sementara, manusia dibutuhkan untuk imajinasi dan kreativitas,” kata Iwan.
Marketing 5.0= Next Tech x New CX
Lima tren tersebut mengantar pada era yang dinamakan Marketing 5.0. Era ini ditandai amplifikasi dari tren yang sudah ada dengan hadirnya teknologi-teknologi yang semakin maju (next tech) dan customer experience (CX) yang baru. “Perkalian keduanya menghasilkan amplifikasi bagi pemasaran saat ini,” katanya.
Di era ini, pengalaman pelanggan bisa diamplifikasi melalui next tech yang tak lain adalah teknologi-teknologi yang dikembangkan berdasarkan inspirasi dari kemampuan-kemampuan yang dimiliki manusia. Biasanya, teknologi ini dikenal dengan istilah human-inspired bionics. Kemampuan manusia berpikir, misalnya, menjadi inspirasi munculnya teknologi Artificial Intelligence (AI). Kemampuan manusia berkomunikasi menjadi inspirasi pengembangan sistem Natural Language Processing (NLP), kemampuan mengindra manusia jadi inspirasi bagi teknologi sensor, kemampuan bergerak menjadi landasan pengembangan teknologi robotik, imajinasi manusia menjadi inspirasi bagi mixed reality, dan keterhubungan antarmanusia dikembangkan menjadi keterhubungan antarbarang dalam bentuk Internet of Things (IoT) danblockchain.
Sementara, di dalam new CX atau pengalaman pelanggan, terjadi amplifikasi dari customer path yang sudah ada. Customer path yang berkembang beberapa tahun belakangan terwujud dalam pola 5A, yakni Aware, Appeal, Ask, Act, dan Advocate. “Teknologi-teknologi yang membentuk Next Tech tadi mengamplifikasi proses customerpath tersebut. Ini berdampak pada advertising, content marketing, direct marketing, sales CRM, distribution channel, product and service, hingga service CRM,” ujar Iwan.
Dalam periklanan, misalnya, mulai muncul tren pemanfaatan AI untuk merancang sebuah iklan, entah itu iklan cetak, digital, maupun TVC. Lexus pernah menerapkan cara ini dalam pembuatan TVC-nya yang mana skrip ditulis oleh bantuan AI dan video komersialnya digarap oleh seorang pemenang Oscar.
“Next Tech dan New CX inilah yang mewarnai era Marketing 5.0 dan semakin berkembang di tahun-tahun selanjutnya,” pungkas Iwan.