Kiat Cerdas Pemimpin Menjadi Media Darling

marketeers article
press and media camera ,video photographer on duty in public news event for reporter

Hampir di setiap negara, ada sosok yang menjadi “langganan” pemberitaan media massa. Media-media tersebut menjadikan sosok itu sebagai sumber rujukan rutin saban hari. Bahkan, setiap aktivitas dan gerak-gerik tokoh tersebut menjadi sajian pemberitaan dan pemberitaannya cenderung positif. Sosok itu dianggap sebagai “sahabat” bagi media-media – tak hanya media arus utama, juga media sosial. Sosok itulah yang populer disebut dengan media darling.

Menurut Wiktionary.org, media darling didefinisikan sebagai a celebrity who is especially popular and who receives frequent and very favorable attention in the news media. Media darling ini bisa siapa saja – entah pemimpin, tokoh politik, artis, atlet, dan sebagainya. Menjadi media darling ini biasanya dinilai cukup penting di masa kompetisi, seperti masa pilkada maupun pilpres.

Barrack Obama, misalnya, saat pilpres pertama menjadi sosok yang ditunggu-tunggu media. Sosoknya menjadi sosok baru dari kalangan kulit hitam pertama yang menjadi presiden dan diharapkan juga membawa angin perubahan di Amerika Serikat. Di Indonesia, ada sosok Joko Widodo atau Jokowi.

Bagaimana caranya menjadi sosok media darling tersebut? Media darling ini tak lepas dari upaya personal branding. Lebih spesifik, bagaimana membangun personal branding di depan insan media. Nah, bagaimana agar personal branding itu kuat di mata media?

#1 Menjadikan media sebagai sahabat

Menjadikan media sebagai sahabat itu sangat penting. Retno Wulandari dalam bukunya berjudul “Media Darling Ala Jokowi” (2014), menegaskan jangan berseteru dengan media karena bakal menghambat upaya mendongkrak personal branding. Penulis menggunakan banyak insight dari buku Retno tersebut dalam yang sedang Anda baca ini. Lalu, prinsip saling menghormati harus tetap dijunjung tinggi. Meski ada pandangan dari insan media yang tak sesuai, hargai pandangan tersebut. Retno bilang, satu hal yang senantiasa diingat adalah peranan media. Media adalah rekan kerja. So, jadikanlah sosok yang mudah diakses oleh wartawan.

#2 Horizontal, Inklusif, dan Sosial pada Media

Menutup diri terhadap media jelas merupakan langkah yang salah dalam membangun personal branding. Sebaliknya, sosok pemimpin harus terbuka pada mereka. Ingat, era sekarang adalah era yang ditandai pergeseran besar, yakni dari vertikal ke horizontal, dari eksklusif ke inklusif, dan dari individual ke sosial. Kepada media, sebagainya tiga semangat tersebut harus dihidupi oleh sosok pemimpin. Sosok pemimpin sebaiknya merakyat, transparan, dan suka berkolaborasi dengan siapa saja.

Tak lagi vertikal, seperti satu arah, penuh instruksi, mengedepankan otoritas, menggunakan kekerasan, dan sebagainya. Tak lagi eksklusif, seperti menarik diri dari media, merasa terganggu saat ditanyai media, mudah tersinggung dan marah atas pemberitaan, menghindari wartawan, tidak jujur, dan bahkan mengancam wartawan. Tak lagi individual, seperti membanggakan diri sendiri, angkuh, merasa bisa menstir media, emoh bermitra dengan media, dan sebagainya.

#3 Punya literasi pada media

Apa yang dimaksud penulis dengan literasi media dalam konteks ini? Pemimpin sebaiknya paham benar bagaimana mengelola diri menjadi sosok yang ramah pemberitaan. Ada banca cara di sini. Pertama, memiliki bahasa tubuh yang ramah terhadap kamera. Kedua, pandai menggunakan kekuatan visual yang menarik dibidik kamera. Ketiga, terbuka pada fotografer. Keempat, membangun keakraban dengan wartawan, entah dengan makan siang, mengapresiasi wartawan, menyapa, dan sebagainya. Kelima, akrab dan dekat bukan berarti asal media senang. Pemimpin harus cerdas mengelola jawaban atas pertanyaan wartawan.

#4 Memperkuat PDB (Positioning, Differentiation, Brand)

Yang paling utama dalam media darling dan proses personal branding adalah PDB. Sosok pemimpin harus memiliki gambaran jelas tentang apa yang ingin dia tanamkan dalam benak audiens atau konstituen. Positioning ini harus terus menerus bisa diklarifikasi oleh audiens. Jangan sampai, janji yang diusung tidak ditepati kemudian hari.

Selain itu, pemimpin harus memperkuat diferensiasinya. Di sini, pentingnya autentisitas seorang pemimpin. Kepribadian pemimpin ini haruslah autentik dan itu yang bakal terbaca oleh kalangan. Jangan sampai apa yang dikatakan dan dilakukan sekadar pemanis bibir atau pencitraan. Tapi, semua itu keluar dari kepribadian yang autentik dan tulus. Autentik  dan unik juga berarti tidak meniru gaya orang lain.

Lalu, sosok pemimpin harus senantiasa memperkuat brand. Sebagai personal brand, pemimpin harus bisa masuk sampai tahap karakter. Bukan melakukan hal yang hanya dibuat-buat. Dan, pemimpin harus mampu menunjukkan karakter yang baik. Karakter yang baik bisa berupa selalu menaruh hormat pada pesaing, tidak doyan black campaign, menebar kabar bohong, mem-bully orang, dan hidup secara bermartabat. Ini dibuktikan dari jejak rekam, perilaku, perkataan, yang baik. Ingat, brand without character is nothing!

#05 Keterampilan berkomunikasi secara cerdas

Semua elemen di atas sebaiknya dikomunikasikan dengan cara-cara cerdas. Sebab itu, pemimpin harus memiliki keterampilan berkomunikasi yang bagus – baik komunikasi verbal maupun nonverbal. Yang penting dalam komunikasi adalah kemampuan mendengarkan dan membangun dialog.

#06 Selalu mengedepankan bukti dan bukan janji

Di depan konstituen – khususnya media – sosok pemimpin harus mengedepankan bukti dan bukan sekadar janji. Lebih mengedepankan kerja ketimbang mengumbar kata-kata. Sebab itu, karya dan kerja nyata dari seorang pemimpin itu sangat penting.

Demikian beberapa langkah yang bisa pemimpin ambil ketika ingin menjadi sosok media darling. Semua ini berlaku bila media-media tersebut setia dengan kinerja jurnalisme dan bukan menjadi media partisan yang menjilat habis sosok yang diusung dan menyerang membabi buta sosok yang dianggap pesaing.

Dus, sudah siap menjadi seorang media darling?

Related