Ide awal Revolusi Mental pertama datang dari Presiden Joko Widodo pada masa kampanye pilpres beberapa bulan lalu. Gagasan Revolusi Mental ini kemudian secara tertulis tertuang dalam kolom opini Harian KOMPAS pada Sabtu, 10 Mei 2014 yang ditulis oleh Jokowi sendiri – saat itu berstatus sebagai capres dari PDI Perjuangan.
Gagasan perubahan yang terkandung dalam ide Revolusi Mental tersebut disambut positif oleh banyak kalangan. Hal ini menandai bahwa Indonesia memang membutuhkan perubahan radikal. Dan, perubahan itu harus bersifat revolusioner mengingat permasalahan yang terjadi sudah taraf memprihatinkan.
Gayung bersambut, gagasan Revolusi Mental tersebut mengerucut dengan dibentuknya tim Kelompok Kerja (Pokja) Revolusi Mental. Pokja ini diketuai oleh Sosiolog Universitas Indonesia Profesor Paulus Wirutomo dan diwakili oleh Daisy I. Yasmine. Pokja beranggotakan relawan, antara lain Bagus Takwin, Sari Madjid, Alfindra Primaldhi, dan Ryan Fajar Febrianto.
Kepada Marketeers, Paulus memaparkan gambaran kilas balik bagaimana gagasan Revolusi Mental tersebut akhirnya dilontarkan oleh Jokowi. Menurut Paulus, isi tulisan Jokowi di Kompas mengingatkan dirinya pada beberapa kejadian atau perjumpaan dengan Jokowi di masa lalu. Salah satunya, ketika Paulus melakukan penelitian tentang “Pembangunan Sosial” di Kota Solo saat Jokowi masih menjadi walikotanya.
“Inti dan dasar dari suatu pembangunan bukanlah fisik maupun ekonomi, tetapi “kualitas Kehidupan Sosial-Budaya”. Jokowi tampak sangat tertarik dengan persoalan sosial budaya tersebut,” kata Paulus mengenang.
Pertemuan berikutnya terjadi pada perayaan ulang tahun Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) ke-48 pada Mei 2013. Saat itu, Paulus memberikan orasi ilmiah berjudul “Konsep Pembangunan Sosial: Sudut Pandang Sosiologi.” Saat orasi, Jokowi yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta hadir, yang mengherankan Paulus, Jokowi duduk mendengarkan sampai orasi Paulus selesai. Jokowi di mata Paulus berbeda dari pejabat lainnya. Biasanya, begitu seremoni selesai, pejabat akan pergi dari tempat acara.
Saat Jokowi diresmikan sebagai capres PDIP, Paulus merasa sangsi bisa bertemu dirinya untuk mendiskusikan lebih lanjut soal pembangunan sosial tersebut. Tetapi, Paulus kaget saat Jokowi ingin bertemu dengannya untuk berdiskusi. Saat itu, Jokowi pernah mengundang Paulus untuk bertemu di sebuah resto. Sayangnya, mungkin karena kesibukanya sebagai capres, pertemuan itu sempat batal beberapa kali.
“Saya pikir, pertemuan itu tidak akan terjadi. Tetapi, ada kabar lagi, Pak Jokowi ingin bertemu saya. Dan, tidak tanggung-tanggung, Jokowi ingin bertemu di rumah saya. Benar, Jokowi akhirnya datang dan kami berdikusi lagi soal pembangunan sosial,” kata Paulus.
Tidak lama kemudian, tim pokja menggelar Focus focus group discussion (FGD). FGD ini dilakukan di tiga kota terpilih, yakni Jakarta, Aceh, dan Jayapura dalam periode 3-10 September 2014. Di masing-masing kota, FGD melibatkan responden dari sepuluh elemen masyarakat, antara lain budayawan, seniman, perempuan, netizen, anak muda, pengusaha, birokrat, tokoh agama/adat, akademisi, dan LSM.
Apa yang kemudian dihasilkan dari FGD tersebut? Apa saja rekomendasinya? Bagaimana Revolusi Mental bisa diimplementasikan secara efisien dan efektif sebagai gerakan bersama? Simak ulasan lebih lanjut dalam Majalah Marketeers edisi Februari 2015 bertajuk “Revolusi Mental: Making Indonesia WOW!”