Kim Hieora Akui Pernah Jadi Bystander, Apa Itu?

marketeers article
Kim Hieora mengaku pernah menjadi bystander (Foto: Instagram/hereare0318)

Bintang The Glory, Kim Hieora mengaku pernah menjadi perundung pasif alias bystander. Pengakuan ini menyusul maraknya kabar yang memberitakan dirinya melakukan perundungan bersama geng sekolahnya pada masa lalu.

Kabar itu pertama kali disiarkan Dispatch. Pada Rabu (6/9/2023), media itu mewartakan bahwa Kim Hieora pernah bergabung dengan kelompok Parksangji

Geng tersebut terkenal kerap melakukan kekerasan verbal hingga fisik kepada sejumlah murid. Tak berselang lama usai kabar itu menguar, Kim Hieora pun buka suara. 

Ia mengaku bagian dari Parksangji, namun tidak sampai ikut-ikutan melakukan kekerasan. Dia mengeklaim hanya menjadi penonton ketika perundungan itu terjadi.

“Benar saya adalah bagian Parksangji, tapi saya sama sekali tidak pernah terlibat dalam aksi mereka. Saya tahu mengatakan itu bukan berarti tidak ikut bertanggung jawab, saya hidup sebagai penonton (diam saja),” ujarnya, dikutip dari Korea JoongAng Daily.

Pemeran The Uncanny Counter 2 itu mengaku lebih memilih diam karena takut menjadi korban perundungan berikutnya. Sebagai seorang wanita dengan fisik yang cukup berbeda dari orang Korea pada umumnya, ia takut hal itu akan dijadikan bahan rundungan.

Apa yang dilakukan Kim Hieora disebut oleh Halimah dkk dalam Persepsi pada Bystander terhadap Intensitas Bullying pada Siswa SMP (2015) sebagai bystander. Istilah ini sama artinya dengan perundung pasif yang hanya menyaksikan perundungan, tanpa berbuat apa-apa.

Apatis atau Takut?

Banyard dalam The Promise of a Bystander Approach to Violence Prevention (2015) mendefinisikan bystander sebagai saksi terhadap perilaku negatif. Eksistensi mereka sejatinya memiliki kesempatan untuk memberikan bantuan pada korban.

Namun, keputusan mereka yang memilih untuk diam saja justru membuat perlakuan bullying makin menjadi-jadi. Hal itu karena pelaku perundungan aktif merasa ada seseorang yang mendukung tindakannya, sehingga merasa dominasinya pun makin kuat.

Diamnya seorang bystander sebetulnya bukan tanpa alasan. Psikolog Bibb Latane menyebut itu adalah hal yang naluriah, mengingat manusia memang punya kecenderungan untuk tidak ikut campur masalah di sekitarnya ketika sedang berada di ruang umum.

Psikiater Saumya Dave pun mengamini pernyataan Latane. Menurutnya, manusia cenderung membeku saat melihat sesuatu yang benar-benar menakutkan, seperti perlakuan kekerasan terhadap seseorang.

“Mereka (bystander) mungkin tidak tahu bagaimana harus bersikap. Ketika tidak ada yang melakukan sesuatu, itu hanya membuat orang lain melakukan tindakan serupa,” ucapnya, dikutip dari NBC News.

Sementara itu, Banyard dalam Who will help prevent sexual violence: Creating an ecological model of bystander intervention (2011) menyebut ada tiga faktor yang dimiliki seorang bystander ketika mereka mengambil tindakan menghentikan perundungan. Beberapa di antaranya adalah arousal dan emosi. 

Kedua faktor itulah yang menjadi kunci utama seorang bystander berani mengintervensi perundungan. Tentu ini bukanlah hal yang mudah, sebab salah-salah mereka bisa menjadi korban berikutnya. 

Editor: Ranto Rajagukguk

Related

award
SPSAwArDS