PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) sempat terlilit utang hingga mencapai US$ 10,36 miliar atau setara Rp 156,3 triliun (kurs Rp 15.087 per US$). Tumpukan utang tersebut disebabkan oleh kerugian operasional selama bertahun-tahun dan diperburuk dengan merebaknya pandemi COVID-19.
Irfan Setiaputra, Direktur Utama Garuda Indonesia menuturkan saat ini utang perseroan terus berkurang dan hanya tersisa kurang dari 50% atau tepatnya US$ 4,8 miliar. Dia bilang harus berdarah-darah untuk membayar tagihan di tengah merebaknya wabah yang membuat industri penerbangan mati suri.
BACA JUGA: Restrukturisasi Sukses, Dirut Garuda Indonesia Klaim Keuangan Membaik
“Pada waktu itu kami punya sekitar 300 penerbangan dan saat COVID-19 hanya tersisa tiga penerbangan sehingga harus seluruh direksi bekerja siang dan malam agar bisa mendapatkan solusi pembayaran utang kepada 800 kreditur,” kata Irfan dalam acara The 91th Jakarta CMO Club yang diselenggarakan MCorp di Auditorium Garuda Indonesia, Cengkareng, Banten, Selasa (11/7/2023).
Irfan mengatakan maskapai penerbangan pelat merah ini telah memiliki masalah yang cukup kompleks sejak bertahun-tahun. Permasalahan yang ada mulai dari mahalnya biaya operasional, banyaknya jumlah pesawat, hingga harga sewa armada yang di luar rata-rata.
BACA JUGA: Garuda Indonesia Jalin Joint Venture Rute dengan Singapore Airlines
Melihat kondisi yang sulit diperbaiki, sebenarnya Irfan sempat mengajukan pengunduran diri kepada Menteri BUMN Erick Thohir. Kendati demikian, Erick terus menahan dan memberikan kepercayaan kepadanya agar bisa menyelamatkan perseroan.
“Dulu saya bilang satu-satunya cara adalah membangkrutkan Garuda Indonesia. Ini juga pernah terjadi di beberapa maskapai penerbangan milik negara di negara lain. Bahkan, saya sempat mengajukan pengunduran diri ratusan kali karena merasa tak sanggup memperbaiki,” ujarnya.
Pada akhirnya, langkah pertama yang dilakukan untuk menyelamatkan perseroan, yakni dengan mengajukan permohonan restrukturisasi utang atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Tak tanggung-tanggung, restrukturisasi utang diajukan sebesar 80% dari total utang yang dimiliki.
Negosiasi panjang pun dilakukan sejak tahun 2020 kepada kreditur. Bahkan, dalam melakukan negosiasi utang kepada perbankan dalam dan luar negeri, termasuk kepada Pertamina sebagai penyuplai bahan bakar dilakukan langsung oleh Irfan.
Upaya tersebut membuahkan hasil manis dengan kepercayaan kreditur yang mau menyetujui proposal restrukturisasi utang. Termasuk pula Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat yang telah mengesahkan Perjanjian Perdamaian (Homologasi).
Irfan menilai upaya restrukturisasi tidaklah cukup menekan kerugian sehingga diperlukan cara lain yaitu efisiensi karyawan secara besar-besaran melalui program pensiun dini. Sebab, struktur tenaga kerja di Garuda Indonesia sangat gemuk dan membebani kantong perusahaan.
“Saya merupakan satu-satunya direktur utama pada perusahaan penerbangan di seluruh dunia yang mengajukan PKPU. Biasanya hanya dilakukan oleh direktur keuangan, namun hal ini yang justru mendapatkan kepercayaan dari kreditur. Saya tidak menjanjikan apa-apa kepada mereka, hanya saja menjamin perusahaan ini akan mendapatkan untung setelah proses ini selesai,” kata dia.
Ketika terjerat utang, hal yang unik dilakukan Irfan adalah mengecat armada pesawat dengan motif masker ketika pandemi. Sebagian besar orang menilai upaya tersebut justru menghambur-hamburkan uang pada masa sulit.
Meski begitu, dia berdalih cara ini sebagai bentuk jaminan keamanan bagi masyarakat ketika terbang dengan Garuda Indonesia saat pandemi. Apalagi, inovasi yang dilakukan merupakan aspirasi karyawan dari Gen Z.
“Hasilnya, para pilot dan awak kabin justru rebutan terbang dengan pesawat yang bermotif masker. Dari sini permintaan penumpang untuk naik pesawat kami juga meningkat. Jadi, kuncinya adalah kepercayaan dari masyarakat,” tuturnya.
Editor: Ranto Rajagukguk