Di tengah kondisi pandemi COVID-19 yang masih melanda sejak awal tahun 2020, dunia tidak hanya mengalami pandemi, tapi juga infodemic. Artinya, ada persebaran informasi yang tidak terkontrol, terutama informasi mengenai perkembangan pandemi.
Tidak hanya pandemi, perputaran informasi mengenai berbagai isu. Mulai dari dinamika sosial politik, ekonomi, hingga kebijakan sosial. Isu-isu ini memiliki potensi besar untuk menimbulkan gelombang misinformasi. Hal ini semakin tidak bisa dihindari dengan perkembangan teknologi yang semakin mempermudah akses berbagai informasi. Perputaran yang tidak bisa dikontrol ini pun membentuk kondisi post-truth, yaitu kondisi di mana fakta tidak lagi menjadi acuan untuk mempercayai informasi karena semua orang memiliki faktanya sendiri sesuai dengan apa yang dipercayanya.
Kondisi ini tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Agung Laksamana, Director Corporate Affairs APRIL Group sekaligus Ketua PERHUMAS Indonesia mengatakan bahwa praktisi public affairs harus memiliki pikiran progresif. Mereka harus memiliki strategi yang mampu membuat narasi pesan positif kepada audiensnya, baik secara internal atau publik secara luas.
“Kami berusaha menghadirkan ide-ide, taktik, serta contoh inovatif yang dibutuhkan untuk meraih dampak positif kepada stakeholders. Yang paling penting, pesan positif ini dapat membangun reputasi dan kepercayaan audiens terhadap organisasi atau perusahaan di masa depan,” jelasnya di gelaran Public Affairs Forum Indonesia, Kamis (17/12/2020).
Pernyataan ini disetujuin oleh M. Fadjroel Rahman, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi/Juru Bicara Presiden RI. Menurutnya, perputaran informasi negatif yang tidak terkontrol, misalnya mengenai pandemi hanya menimbulkan pengaruh negatif terhadap perspektif audiens. Di tengah kondisi yang sulit, dengan informasi buruk yang beredar, audiens bisa menjadi sangat negatif.
“Hal ini tentu berbahaya karena yang harus dilakukan justru menyemangati optimisme mereka agar bisa survive, bahkan tetap maju meskipun pandemi melanda. Peran persebaran berita atau informasi yang positig sangat dibutuhkan di sini,” tambah Fadjroel.
Kunci utama untuk membangun narasi positif di kalangan audiens adalah bagaimana praktisi komunikasi publik bisa meng-highlight kabar baik. Kabar baik tidak harus berisi harapan atau ‘memaniskan’ kondisi yang ada. Penyampaian realita bisa tetap dilakukan secara optimis dengan pemberian solusi di setiap masalah. Yang pasti, penting untuk bagi semua pihak untuk membangun narasi positif ini untuk memberikan harapan kepada audiens di tengah masa sulit agar mereka tetap berjuang dan menjadi survival bersama-sama.
Editor: Ramadhan Triwijanarko