Starbucks mengumumkan bahwa mereka telah menangguhkan semua aktivitas bisnis di Rusia. Keputusan ini dilakukan setelah 15 tahun Starbucks beroperasi di Rusia akibat konflik antara Rusia dan Ukraina. Starbucks memiliki sekitar 130. 130 lokasi semuanya dimiliki dan dioperasikan oleh mitra berlisensi.
Starbucks sekarang membuat keputusan untuk keluar dari Rusia dan secara efektif menutup 130 toko tersebut. Keputusan tersebut sama seperti yang dilakukan oleh McDonalds, yang mengumumkan minggu lalu bahwa mereka akan mulai menghapus semua elemen mereknya dari Rusia. McDonalds memiliki lebih dari 800 lokasi di Rusia,
“Kami mengutuk serangan yang tidak beralasan, tidak adil, dan mengerikan di Ukraina oleh Rusia, dan hati kami untuk semua yang terkena dampak,” tulis CEO Starbucks Kevin Johnson dikutip dari Gizmodo, Rabu (25/5/2022).
Starbucks mengutuk serangan ke Ukraina oleh Rusia pada bulan Maret dan menyatakan mereka akan menyumbangkan royalti yang mereka terima dari operasi bisnis mereka di Rusia untuk upaya bantuan kemanusiaan untuk Ukraina. Yayasan Starbucks juga memberikan $500.000 atau senilai Rp 7,3 miliar kepada Palang Merah dan Dapur Pusat Dunia untuk upaya kemanusiaan di Ukraina.
Dalam pernyataan yang dirilis pada tanggal 4 Maret, Starbucks akan terus mendukung orang yang membutuhkan melalui kontribusi keuangan dan layanan melalui bisnis EMEA mereka.
Empat hari kemudian pada tanggal 8 Maret, Starbucks setuju dengan mitra lisensi mereka untuk menghentikan sementara semua operasi toko mereka dan mendukung para pekerja yang akan kehilangan pekerjaan mereka dengan jeda ini. Starbucks akan terus mendukung hampir 2.000 pekerja atau “mitra celemek hijau” mereka yang saat ini berada di Rusia, termasuk membayar mereka selama enam bulan serta membantu mereka dalam transisi ke peluang baru.
Hengkangnya bisnis dari Rusia usai konflik antara dua negara di Eropa Timur tidak hanya dilakukan oleh bisnis dari sektor food and beverages (F&B). Perusahaan dari sektor lain seperti teknologi, telekomunikasi, juga hengkang dari Rusia karena konflik yang berkepanjangan.
Salah satunya seperti perusahaan produsen alat telekomunikasi Nokia, yang hengkang dari Rusia pada April lalu karena merasa situasi di Rusia sudah tidak memungkinkan untuk bisnis perusahaan dapat beroperasi.