Masyarakat cukup akrab dengan kebiasaan mengobrol dalam durasi yang lama sembari menikmati beberapa gelas minuman. Kebiasaan ini disebut dengan istilah ngopi. Setiap daerah di tiap penjuru Indonesia memiliki budaya ngopi tersendiri, baik di Aceh, Jawa, Kalimantan, dan Sumbawa. Hal yang sama juga terjadi di tanah Pasundan.
“Di Sunda, ada budaya ngopi, tapi ngopi di sini tidak selalu minum kopi. Bisa minum teh dan makan makanan ringan,” ujar Eka Satiadharma, Pemilik Kedai Kopi Anjis di Bandung.
Berawal dari kebiasaan dari lingkungan di sekelilingnya, Eka membuka sebuah kedai kopi di daerah jalan Surya Sumantri, Bandung pada tahun 2013. Lokasi tersebut dipilih berdasarkan ketersediaan dana yang dimiliki Eka saat itu dan lokasi yang dekat dengan sebuah universitas swasta ternama.
Tanpa ada promosi macam-macam untuk menggaet konsumen, Kopi Anjis berhasil menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa. Konsep yang sederhana, harga yang sesuai dengan kantong mahasiswa, serta suasana yang menyenangkan menjadi alasan Kopi Anjis sangat digemari.
Eka menilai, Kopi Anjis mencoba menawarkan sebuah hal yang amat sederhana, sehingga membuat Kopi Anjis berbeda dengan kedai-kedai kopi lainnya.
“Kami berusaha menciptakan kopi yang sederhana. Konsepnya orang yang suka dan tidak suka kopi akan tetap bisa menikmatinya,” ungkap Eka.
Menurutnya, di balik ramainya kedai-kedai kopi, sesungguhnya tidak semua orang bisa menikmati kopi. Terlebih saat ini kedai kopi hadir dengan beragam jenis biji kopi yang beragam, belum lagi diolah sedemikian rupa. Karenanya, apa yang disajikan oleh Kopi Anjis adalah kopi yang benar-benar khas Indonesia. Maka jangan harap ada menu cappuccino atau latte dalam barisan menu di Kopi Anjis.
Bila kebanyakan wirausaha melakukan serangkaian promosi baik secara online dan offline, Eka mengaku Kopi Anjis tidak pernah melakukan serangkaian promosi. Meskipun kala itu dekat dengan wilayah kampus, Kopi Anjis juga tidak masuk ke dalam untuk melakukan promosi.
“Kami hanya berharap orang datang, menikmati dan puas, lalu datang kembali,” tegas Eka.
Uniknya, alih-alih melakukan promosi pemasaran segala macam, Kopi Anjis justru merangkul kelompok-kelompok pegiat sosial di Bandung. Terhitung beberapa komunitas seperti Potads Bandung, Cleanaction, Sedekah Buku Indonesia, BerbagiNasi, Rumah Cemara, dan lainnya menjadi mitra Kopi Anjis dalam mengomunikasikan pesan-pesan yang ingin disampaikan.
“Kami ingin menciptakan hubungan yang vertikal dan horizontal, kepada sesama manusia dan alam. Bisnis dan kegiatan sosial bisa selalu berjalan berdampingan,” tambah Eka.
Hal unik tersebut yang akhirnya membuat Kopi Anjis digemari. Bermula dari kalangan mahasiswa, pelajar, hingga orang dewasa, tuntutan konsumen agar Kopi Anjis membuka cabang pun bermunculan. Eka menjelaskan bahwa banyak yang mengeluhkan lokasi Kopi Anjis yang tidak berada di pusat kota.
“Banyak yang minta untuk buka cabang di tengah kota. Banyak yang mengeluh macet bila ingin berkunjung ke Kopi Anjis,” tambah Eka.
Setelah mendengar begitu banyak masukan, akhirnya Eka mencari lokasi dan tentunya menyesuaikan dana yang dimiliki. Akhirnya, Kopi Anjis membuka cabang terbarunya. Saat ini, Kopi Anjis memiliki tiga cabang. Bahkan, pada Desember 2016 ini, Eka membeberkan bahwa Kopi Anjis akan membuka cabang terbarunya.
Ketika memutuskan untuk membuka cabang, Eka dihadapi dengan dinamika konsumen yang jauh lebih kompleks. Sebelumnya Eka banyak berurusan dengan mahasiswa. Sementara, di lokasi yang baru konsumennya berasal dari beragam latar belakang.
“Kami menyadari bahwa mahasiswa itu amat pemaaf. Sementara di lokasi yang baru, semuanya harus lebih sempurna. Pokoknya, beda sekali ketika harus menghadapi mahasiswa dan masyarakat umum,” lanjut Eka. Setidaknya ada tiga kunci yang bisa diterapkan oleh Kopi Anjis kepada konsumennya, yakni cepat, tepat, dan ramah. Tiga hal ini mutlak diterapkan.
Sebagai seorang wirausaha, Eka mengaku dirinya masih minim pengalaman. Ia menilai dirinya tidak memiliki masalah dengan segala kendala teknis, namun lain halnya dengan segi kepemimpinan dan pengalaman. Karenanya, dari awal hingga saat ini, Eka terus belajar dan berusaha menguatkan fondasi bisnis dari Kopi Anjis. Hal ini juga yang membuat Eka untuk menolak tawaran waralaba dari mitra yang ingin bekerja sama.
“Banyak yang minta franchise sejak awal, tetapi kami belum mau. Fondasi kami belum terlalu kuat. Oleh sebab itu, kami coba memperkuat fondasi terlebih dahulu,” terang Eka.
Sebagai seorang wirausaha, Eka banyak belajar dari pengalaman yang ia rasakan semenjak membangun Kopi Anjis. Eka melihat banyak pelaku UKM yang tergesa-gesa dalam melakukan sebuah bisnis. “Jam terbang belum matang dan kurang menghargai proses kematangan sebuah merek,” ungkapnya,
Bahkan, banyak pelaku usaha yang sudah gede kepala dan jumawa ketika merek mereka dikenal oleh banyak orang. Padahal pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) perlu membuktikan komitmen, kematangan, dan performa dari merek tersebut. Baginya, karakter sang pemilik usaha akan mencerminkan karakter merek tersebut.
Dus, Eka mengingatkan bahwa merek terkenal bukan segalanya. Performa bisnis dan komitmen harus terus diuji dari segala sisi. Mulai dari keuangan, bahan baku, penyajian, hingga layanan.
“Maunya langsung besar, tetapi tidak menghargai proses. Tentunya karakter merek menjadi tidak stabil. Dikenal tapi tidak disayang. Merek tidak perlu terlalu dikenal, tetapi harus disayang,” pungkasnya.