Kopi Rajut Hubungan Spesial Starbucks di Tanah Karo

marketeers article
COO Starbucks Indonesia memberikan bibit kopi kepada Kepala Suku Tani Desa Suka Kabupaten Karo Armin Ginting

Jauh dari hiruk-pikuk kota Medan, Kabupaten Karo menyimpan segudang harapan akan masa depan kopi Sumatera yang melegenda. Kabupaten berjarak 7,7 km dari pusat kota ini dipersiapkan menjadi lumbung kopi baru di nusantara, bergabung dengan kopi mahsyur dari daerah Sumatera Utara lain, yaitu Mandailing, Sidikalang, dan Deli.

Berada 1.400 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan kontur wilayah berbukit-bukit dan dikepung oleh duet maut gunung vulkanik Sinabung dan Sibayak, Kabupaten Karo memiliki unsur tanah yang menguntungkan dengan iklim berhawa sejuk antara 17-19 derajat Celsius. Sebab wilayah ini memiliki kandungan top soil atau organik yang tebal.

Belum lagi dengan erupsi dari Gunung Sinabung yang di satu sisi berperan dalam menyuburkan kembali zat hara di dalam tanah, baik itu berupa magnesium, kalium, fosfor, dan natrium. Ini amat berguna bagi kesuburuan tanaman yang dikelola di sekitar gunung.

Meskipun di sisi lain, abu vulkanik dapat seketika mematikan tanaman karena stomata pada daun tanaman tertutup abu. Sehingga, kondisi tersebut menghalangi tumbuhan untuk melakukan fotosintesis yang berdampak pada pertumbuhan tanaman yang melambat serta hasil panen yang berkurang.

“Abu Gunung Sinabung membuat sebagian besar petani di Kabupaten Karo merugi, karena banyak yang gagal panen karena terjadi hama daun,” terang Dr. Ir. Surip Muwardi, profesor spesialis pemuliaan tanaman dari Universitas Gadjah Mada saat ditemui di Starbucks Farmers Support Center (FSC) di Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

Bagai a blessing in disguise, panen yang gagal -yang sebagian besar adalah tanaman holtikultura seperti jeruk dan sayuran-, memberikan inspirasi bagi petani setempat untuk menanam tumbuhan yang selama ini tidak menjadi perhatian utama mereka. Tanaman ini sebelumnya hanya ditanam jika ada lahan tersisah di ladang mereka. Tanaman itu adalah kopi.

Kabupaten Karo memang bukan produsen kopi terbesar sekaligus terbaik di Sumatera, pulau yang menjadi kawasan penghasil kopi terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Vietnam. Hanya segelintir nama yang dikenal sebagai lumbung kopi di Sumatera, antara lain Gayo di Aceh, dan tiga daerah di Sumatera Utara yang telah disebut sebelumnya.

Selama puluhan tahun Indonesia mengekspor kopi, tak pernah terbesit sekalipun Kabupaten Karo dilirik karena kopinya. Kabupaten yang dihuni sekitar 500 ribu jiwa itu kini dicanangkan pemerintah sebagai daerah budidaya kopi baru di Pulau Sumatera. Dengan dikepung 248 desa, Kabupaten Karo akan mengikuti jejak daerah lain yang kopinya sudah diseruput oleh para pecinta kawa hitam di seluruh dunia.

“Kementerian Pertanian telah menjadikan Kabupaten Karo sebagai satu dari empat area produksi kopi terbaik di Sumatera. Atau satu dari tiga kawasan di Sumatera Utara, setelah Mandailing dan Simalungun,” jelas Sarjana Purba, Kepala Dinas Petanian Kabupaten Karo Sumatera Utara.

Saat ini, luas pertanian di Kabupaten Karo sebesar 212 ribu hektare. Dari angka itu, kopi baru ditanam di lahan seluas 10 ribu hektare. Ia mengkalkulasi, dari sisi produktivitas, kopi di Karo baru menghasilkan 1,4 ton green bean (biji kopi) per hektare. Untuk bisa bersaing dengan kawasan lain, tentu perlu intensifikasi dan ekstensifikasi lahan kopi di kabupaten ini.

Petani harus sejahtera untuk mau menjadikan kopi sebagai mata pencaharian utama mereka. Bukan lagi sebagai tanaman sampingan. Perlu adanya insentif bibit unggul untuk tanaman kopi. Sebab yang menjadi masalah utama petani di hampir seluruh nusantara adalah keluhan mereka terhadap harga bibit yang selangit.

“Jujur saja, petani kurang sekali bibit. Kami sedang fokus bagaimana memberikan akses bibit yang unggul untuk produktvitas kopi yang sesuai harapan,” terangnya lagi.

Starbucks Farmers Support Center

Harapan itu mulai ditawarkan oleh jaringan kedai kopi internasional, Starbucks. Perusahaan kopi yang memiliki 27.000 gerai di seluruh dunia itu memilih Kabupaten Karo, tepatnya di Kecamatan Berastagi sebagai satu dari sembilan Farmers Support Center (FSC) di dunia. Di Asia sendiri, Karo adalah satu dari dua FSC setelah Yunnan, China.

Tentu ada alasan spesifik Starbucks memilih Sumatera sebagai lokasi FSC. Pertama, Starbucks merupakan salah satu buyer terbesar kopi Sumatera di dunia. Kopi berjenis arabika itu dijual di hampir seluruh gerainya di dunia dan dijadikan sebagai salah satu racikan mereka dalam membuat house blend yang selama ini menjadi bahan dasar kopi di gerai-gerai Starbucks.

Kedua, Kopi Sumatera juga menjadi kopi favorit dari Howard Schultz, pendiri dan mantan CEO Starbucks Coffee Company (Schultz mengundurkan diri dari posisinya sebagai CEO dan dispekulasi tengah mempersiapkan diri maju sebagai kandidat Presiden Amerika Serikat tahun 2020). Kopi Sumatera, yakni Gayo juga masuk dalam salah satu kopi single origin yang disajikan di kedai khusus Reserve, bersanding dengan para single origine lain seperti Congo Lake Kivu atau Peru Chontali

Lahan pembangunan kopi berkelanjutan secara partisipatif yang dikelola Kelompok Tani Sinergi Fajar Harapan. Desa Suka Simbayak, Kabupaten Karo

Begitu besarnya jasa Sumatera terhadap gerak bisnis Starbucks di dunia adalah pemicu utama mengapa perusahaan asal Seattle itu mau memberikan perhatian lebih terhadap masa depan kopi di Sumatera.

Lantas, apa manfaat FSC bagi pertanian kopi Sumatera? FSC didesain sebagai kebun kopi percontohan bagi para petani di Sumatera maupun daerah lainnya untuk mengetahui bagaimana membudidayakan kopi yang efektif, efisien, dan berstandar global.

“Siapapun petani bebas untuk bergabung ke dalam FSC untuk dibekali pengetahuan mengenai pertanian kopi, terlepas mereka akan menjual hasil panennya kepada kami atau tidak,” tegas Anthony “Ginting” Cottan, COO PT Sari Coffee Indonesia, operator Starbucks di tanah air.

FSC pada dasarnya dibuat oleh Starbucks Coffee Company yang merupakan proyek sosial global mereka dan memiliki misi melatih 200.000 petani kopi di seluruh dunia hingga tahun 2020. FSC menawarkan konsep open source di mana informasi agronomi diberikan secara cuma-cuma kepada para petani agar mampu melatih mereka teknik bertani secara kelilmuan, menghitung profitabilitas hasil tani, dan belajar mengenai praktik bertani secara etika atau C.A.F.E (Coffee and Farmers Equity).

Surip Muwardi pun didaulat sebagai “juru kunci” FSC Berastagi. Lelaki ini merupakan Peneliti Utama di Pusat Peneliti Kopi dan Kakao Indonesia. Dia juga kerap menjadi delegasi Indonesia dalam beberapa pertemuan internasional mengenai kopi seperti International Coffee Organization (ICO) dan Food Agriculture Organization (FAO).

Art in A cup

Dalam lawatan Marketeers ke FSC Berastagi, sembari mengajak berkeliling lahan seluas 3.000 m2, Surip menerangkan bahwa FSC yang didirikan sejak tahun 2015 itu telah melibatkan 19 kelompok petani dari Kabupaten Karo, dan kabupaten lain di sekitarnya. Setiap kelompok tani rata-rata beranggotakan 20-25 petani.

Tahun pertama, Starbucks melakukan program pembibitan 10.000 bibit unggul. Bibit itu telah diberikan kepada para kelompok petani untuk ditanam di perkebunan mereka masing-masing. Tahun kedua, bibit yang diberikan bertambah menjadi 20.000 bibit. Dan pada tahun ketiga ini, bibit yang diberikan Starbucks melonjak naik menjadi 300.000 bibit.

Ini terjadi berkat Art in A Cup, sebuah program keterlibatan konsumen dalam aktivitas kontribusi sosial perusahaan. Program yang berjalan sejak Maret hingga Mei 2018 itu berhasil mengumpulkan Rp 400 juta dari hasil penjualan minuman khusus. Jika dikonversi ke dalam harga bibit, setara dengan pembelian 300.000 bibit. Jumlah itu, menurut Surip, setara dengan 150.000 hektare lahan kopi baru apabila ditanam dengan pola konvensional.

Bibit-bibit itu dihasilkan dari benih yang berkecambah. Benihnya didatangkan dari Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian RI, sehingga telah legal dan memproleh uji nasional. Adapun varietas benih kopi yang direkomendiasikan FSC adalah Komasti, Adung-Sari 1, Gayo, dan Sigarar Utang.

Para perempuan melakukan proses screening terhadap kopi arabika grade A yang akan dikirim untuk Starbucks

Teknik penanaman pun berbeda-beda. Ada yang sengaja dibuat zig-zag, ada yang jarak antar pohon berbentuk segi tiga, menyilang, dan lainnya. Cara tersebut tergantung dari luas lahan dan berapa banyak pokok (pohon kopi) yang ingin ditanam petani. Namun yang jelas, kata dia, perlu adanya tanaman pelindung berupa pohon Lamtoro yang diletakkan di antara deretan pohon kopi.

“Kopi hanya butuh 60% cahaya matahari, sehingga Lamtoro menghalangi cahaya masuk 100%. Selain itu, Lamtoro juga memberikan manfaat baik dari batangnya untuk memasak, maupun daunnya untuk pakan ternak kambing,” papar dia.

Surip menggarisbawahi bahwa teknik menamam menentukan kesejahteraan petani. Pasalnya, tidak seperti petani lain di kawasan Brazil yang bisa menanam 8000 pohon kopi di lahan satu hektare, petani di Sumatera paling banyak menanam 2.500 pohon kopi di luas lahan yang sama. Ini terjadi karena kontur wilayah yang berbeda, serta pertanian di daerah ini dilakukan secara tradisional alias tanpa mesin berteknologi tinggi.

“Mereka berkebun dengan luas lahan yang kecil-kecil. Buah ceri yang akan menjadi cikal-bakal green bean (biji kopi) dipetik menggunakan tangan secara manual. Sehingga, proses produksi biji kopi memang lebih lama,” papar Tovan Marhennata, agronomis FSC yang juga menemani Surip dalam lawatan kami di siang yang terik itu.

Hitung-hitungannya kurang lebih seperti ini: Satu hektare lahan kopi berisi 2.000-2.500 pohon kopi. Setiap satu pohon menghasilkan 2.100 buah ceri yang jika dikupas buahnya dan diperoleh biji kopi, maka satu pohon hanya mendapat 500 gram biji kopi.

“Artinya, petani memperoleh 1 ton-1,5 ton biji kopi per sekali panen dalam setahun,” papar Surip lagi.

Jika dijual dalam bentuk biji kopi yang dikeringkan, harga pasaran biji kopi Rp 35.000 per kilogram. Artinya, pendapatan terkecil petani selama setahun dalam sekali panen akbar sebesar Rp 350 juta atau Rp 2,9 juta per bulan.

Pendapatan itu telah di atas dari angka ambang kemiskinan versi BPS sebesar di bawah Rp 2 juta per bulan per kepala keluarga.

Surip melanjutkan, jika petani mampu melakukan eco-farming yang menuntut mereka memanfaatkan apa yang ada di ladang untuk berternak, maka dalam sebulan mereka bisa memperoleh pendapatan tambahan hingga jutaan rupiah dari hasil menjual kambing atau telur ayam.

“Yang penting saya selalu tekankan kepada para petani di sini adalah kerja keras, rajin, dan ulet. Mereka bisa sejahtera,” tegas dia lagi.

Ridwan Juanda Barus, petani kopi asal Desa Suka, Kabupaten Karo menerangkan, sejak dua tahun lalu, dirinya fokus menggarap kopi dan mengalihfungsikan lahan perkebunan jeruk dan markisanya yang telah termakan lalat hama buah akibat erupsi Gunung Sinabung. Bersama sang kakak, pria 35 tahun ini membudidayakan kopi arabika di atas lahan dua hektare milik keluarga.

“Di Karo, apapun bisa tumbuh dengan bagus, tanpa perlu pupuk anorganik. Semua bisa tumbuh secara organik di sini. Sebuah daerah dengan tanah yang subur,” terang Ridwan yang menjadi anggota Kelompok Tani Sirgi Fajar Harapan di FSC.

Setelah berhasil memanen kopi, ia mengatakan ternyata Kopi Karo memiliki cita rasa yang berbeda dari kopi Mandailing atau Sidikalang, meskipun mereka berasal dari pulau yang sama.

“Bagi saya, Kopi Karo lebih aromatik. Alihfungsi lahan buah-buahan dan sayuran membuat aroma kopi ini punya banyak rasa,” paparnya.

Kabupaten Karo tengah berpacu dengan waktu untuk dapat membuktikan kepada dunia bahwa generasi kopi baru akan lahir kembali dari tanah Sumatera. Jika di etalase Starbucks Reserve terpampang sebungkus kopi 250 gram bertuliskan “Karo”, ini bisa menjadi indikator akan keberhasilan pertanian kopi di kawasan yang menjadi sentra utama pertanian di zaman kolonialisme Belanda.

Sama-sama berharap, mungkin suatu saat nanti, Howard Schultz akan menyeruput kopi dari Tanah Karo entah ia menjadi Presiden Amerika atau tidak. Ya, suatu saat nanti.

Related