Kuartal II Tahun 2021, Nike Catatkan Laba Bersih Penjualan US$ 1,33 Miliar
Produsen sepatu olahraga asal Amerika Serikat (AS), Nike, mencatatkan laba bersih penjualan pada kuartal II tahun 2021 sebesar US$ 1,33 miliar atau setara Rp 18,7 triliun (kurs Rp 14.390 per US$). Jumlah tersebut naik sebesar 7% dari periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy).
Dalam laporan yang dipublikasikan oleh retaildetail.eu pada 21 Desember 2021, kenaikan laba bersih tersebut dinilai cukup baik lantaran masih merebaknya pandemi COVID-19 di seluruh negara. Selain itu, penjualan masih terkendala dengan keterbatasan pasokan akibat ditutupnya beberapa pabrik di Vietnam yang merupakan negara basis produksi akibat merebaknya varian delta.
Adapun dampak dari merebaknya wabah dan penutupan pabrik menyebabkan gangguan pasokan berdampak signifikan terhadap bisnis. Pendapatan turun hampir seperempat untuk penjualan di China dan 6% di Asia, serta Amerika Latin. Sedangkan penjualan lainnya tumbuh cukup besar seperti di Amerika Utara tumbuh 12% dan Eropa 6%.
Penjualan Nike mampu tumbuh berkat peningkatan persediaan pasokan yang masih ada selama kuartal tersebut. Secara total, perseroan membukukan penjualan sebanyak US$ 11,4 miliar pada kuartal II tahun 2021. Penjualan ini naik 1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Tak hanya itu, penjualan langsung ke konsumen (Nike Direct) tumbuh secara total sebesar 8% yang didorong oleh pertumbuhan 30% di Amerika Utara dengan rekor penjualan tertinggi selama hari promosi Black Friday. Pendapatan e-commerce pun mengalami pertumbuhan sebesar 11% yang didorong oleh penjualan yang sukses di AS.
Sebelumnya, pada September 2021 Nike dikabarkan terancam kehabisan stok lantaran terhambatnya produksi dan distribusi akibat merebaknya COVID-19. Pasalnya, pabrik yang sebagian besar berada di Vietnam harus ditutup karena ledakan sebaran wabah.
Direktur Keuangan Nike Matt Friend menjelaskan kondisi kian diperburuk dengan adanya kebijakan karantrina wilayah (lockdown) yang membuat proses pengiriman semakin lama. “Masalah-masalah tersebut adalah akibat dari penutupan pabrik secara paksa dan keterlambatan di sektor transportasi. Sebagian besar produksinya berasal dari Vietnam dan di sana pabriknya masih tutup karena corona,” kata Friend, beberapa waktu lalu.
Matt menjelaskan, sebagian lainnya produksi berada di Indonesia. Meskipun kebijakan industri mulai dilonggaran, namun kapasitas produksinya tak sebanyak di Vietnam. Sehingga tidak memenuhi kebutuhan secara global.
Kondisi itu diperkirakan akan terjadi hingga beberapa bulan ke depan. Dari sisi transportasi logistik, perseroan mengalami peningkatan biaya sebesar dua kali lipat karena penundaan di pelabuhan dan kekurangan kontainer serta personel. “Kombinasi kedua faktor tersebut akan menyebabkan kekurangan stok pada trimester berikutnya,” pungkasnya.
Editor: Eko Adiwaluyo