“Gabus Pucung”, “Bubur Ase”, “Sayur Besan”. Apa Anda mengenal nama kuliner ini? Beruntung jika Anda mengenalnya. Namun, apakah Anda pernah mencicipinya? Jangan sedih, makanan ini diprediksi akan punah dari Tanah Betawi.
Satu per satu kuliner nusantara mulai menjadi asing tidak hanya di lidah, namun juga di telinga penikmat kuliner. Keterbukaan teknologi yang jaringannya kian cepat, tak lantas membuat kuliner nusantara menjadi santapan sehari-hari kaum millennials, yang disebut-sebut sebagai the next biggest consumer di Indonesia.
Perkembangan on-demand services seperti Go-Food memang menjadikan konsumen kian mudah memperoleh makanan favoritnya. Namun, tidak bagi makanan nusantara. Hal ini bisa dilihat dari restoran apa yang paling banyak dipesan di Go-Food. Menurut sumber Marketeers, dua kategori food & beverage yang paling bayak dipesan di aplikasi tersebut adalah fast food dan kopi 20.000an.
Bukan sesuatu yang kebetulan jika makanan nusantara tergerus oleh arus zaman. Sebab, kuliner asing yang hadir dalam bentuk sistem waralaba, menjangkau kaum millennials dengan sentuhan gaya hidup negara mereka. Lihat saja, bagaimana restoran Korea yang menawarkan bimbimbap hadir dengan memboyong tema K-pop.
Masalah lainnya adalah soal pendataan. Entah siapa yang mesti bertanggung jawab, namun pemerintah lalai untuk mendata jumlah penjaja kuliner nusantara. Seharusnya, setiap pemerintah daerah memiliki data, mengembangkan dan mematenkan kuliner yang ada di daerahnya itu.
Selain itu, pertumbuhan mal juga kian tak ramah pada kuliner lokal. Porsi tenan food & beverage yang ada di mal didominasi oleh makanan asing. Restoran Jepang merupakan yang terbesar dari segi ekspansi. Jika dulu, konsumen domestik hanya mengenal sushi dan ramen, kini mereka bisa menikmati beragam kuliner Jepang yang kian spesifik. Misalnya, restoran yang khusus menyajikan toridoll yakitori, donburi, soba, udon, takoyaki, dan lainnya.
Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menyadari akan potensi kuliner sebagai penopang bisnis masyarakat Indonesia. Menurut lembaga independen pemerintah itu, subsektor kuliner berkontribusi 41,49% dari total kontribusi ekonomi kreatif. Namun, entah berapa persen dari torehan itu yang benar-benar disumbang dari kuliner nusantara.
Belum selesai sampai di situ, kendala lain yang jauh lebih berat adalah mewariskan makanan tradisional ke generasi penerus. Banyak penjaja kuliner tradisional mengaku anak mereka enggan untuk melanjutkan usaha yang telah mereka rintis sejak dulu.
Unilever, raksasa konsumer yang membawahi merek kecap Bango, yakin bahwa salah satu poin penting dari misi memajukan kuliner nusantara adalah adanya upaya untuk melanjutkan pewarisannya kepada generasi penerus. Tanpa regenerasi yang kuat, kuliner nusantara bisa hilang tergerus waktu dan era globalisasi.
“Hal ini menjadi sebuah tantangan namun juga peluang bagi generasi muda, khususnya mereka yang menekuni bidang wirausaha kuliner nusantara,” ujar Thomas Agus Pamudji, Managing Director Unilever Foods Solution.
Tak ayal, Bango terus mencoba untuk mendongkrak kembali popuaritas kuliner nusantara lewat serangkaian aktivitas maketingnya. Kali ini, merek ini mencoba menarik minat anak muda untuk tidak hanya hunting kuliner, tetapi juga terlibat dalam mengembangkan usaha kuliner nusantara itu.
Tentu ada motivasi bisnis dari misi sosial tersebut. Pasalnya, para penjaja kuliner adalah market potensial bagi pertumbuhan bisnis kecap seperti Bango. Terlebih, kulier lokal sangat identik dengan penggunaan kecap manis. Beda dengan kuliner Jepang atau China yang lebih akrab dengan cita rasa kecap asin.
Sejatinya, makanan adalah makanan. Di mana pun mereka berada, makanan dibuat untuk membuat manusia kenyang. Akibatnya, mereka dapat melanjutkan kehidupannya sehari-hari. Akan tetapi, makanan memiliki nilai lain ketika ada sejarah di balik kelahiran makanan itu.
Itulah yang menjadi tujuan invasi makanan asing ke sejumlah negara. Bukan hanya memasyarakatkan cita rasanya, tapi juga memberikan simbol pengaruh suatu negara di negara lain. Lewat makanan, pemasaran biasanya menjadi lebih mudah. Jika ingin tahu soal sushi lebih dalam, pergilah ke Jepang. Jika ingin paham soal tom yum, datangah ke Thailand. Pariwisata pun terdongkrak hanya dari semangkuk makanan yang Anda santap.
Editor: Sigit Kurniawan