Krisis bukanlah sesuatu yang asing ketika kita berbicara soal bisnis. Tantangan hadir dari berbagai hal yang tidak dapat diprediksi. Sebab itu, marketing berperan penting bagi perusahaan untuk tetap tumbuh selama menghadapi krisis.
“Perusahaan menggunakan marketing karena konsumen makin pandai dan situasi tidak bisa disamakan seperti dulu. Namun, perlu diperhatikan ketika terjadi krisis, marketing saja tidak cukup. Harus ada jiwa entrepreneurship untuk bertahan dan tumbuh,” ujar Chief Operating Officer MarkPlus Institute Yosanova Savitry dalam acara Marketeers iClub bertajuk Recover Faster: How to Survive from Crisis by Blending Marketing & Entrepreneurship, Jumat (30/07/2021).
Yosanova menambahkan bahwa ketika berada dalam situasi krisis, ada keputusan yang bisa kita ambil. Padahal mungkin saja kita tolak ketika berada dalam situasi normal. Demikian pula sebaliknya. Ada peluang yang kita tolak di masa sulit namun kita ambil ketika semuanya normal. Itulah wujud dari fleksibilitas dari marketing.
Untuk pulih dari masa sulit, perusahaan diyakini harus mengintegrasikan marketing dan entrepreneurship menjadi kekuatan menghadapi berbagai situasi. Entrepreneur memiliki tiga elemen utama yaitu opportunity seeking, risk taking, dan network collaborating. Ketiganya akan semakin kuat ketika dikawinkan dengan positioning, differentiation, dan brand.
Yosanova mengambil contoh positioning x opportunity seeking dari Fujifilm. Meski dikenal sebagai perusahaan yang bergerak di bidang fotografi, Fujifilm menemukan peluang lain untuk menghadapi dunia digital. Mereka melakukan perubahan drastis dan beradaptasi dengan situasi pasar. Hal itulah yang membuat mereka tetap hidup dan bertahan hingga kini.
“Ketika bisnis foto film tidak lagi menjanjikan, mereka mengambil langkah berani untuk shifting, melalui produk kecantikan yaitu Astalift. Divisi inilah yang kemudian membuat Fujifilm berhasil selamat. Dan, ketika ditelusuri, ide dari inovasi produk ini datang dari seorang laboratorian. Hal ini menunjukkan bahwa siapapun bisa menjadi inisiator,” tutur Yosanova.
Selanjutnya adalah contoh kasus dari differentiation x risk taking yang dilakukan Starbucks. Ketika CEO Starbucks Howard Schultz mundur dari posisinya pada tahun 2000. Perusahaan kemudian mengubah strategi mereka ke ekspansi yang agresif dengan memperbanyak gerai.
Terlepas dari peningkatan revenue setiap tiga tahun, Starbucks kehilangan kultur asli mereka yang mengedepankan human dan consumer experience. Schultz pun kembali dan mengambil risiko dari sisi finansial untuk mempertahankan DNA mereka.
“Meski saham mereka turun hingga separuhnya dan banyak gerai yang harus ditutup. CEO Starbucks kala itu menekankan bahwa DNA mereka harus dipertahankan di tengah krisis. Positioning mungkin bisa berubah namun differentiation harus menjadi dasar,” pungkas Yosanova.
Dalam pemaparannya untuk brand x network collaborating, Yosanova mengambil contoh brand lokal yaitu Sasa. Selama lebih dari 50 tahun eksis di industri ini, Sasa menghadapi perubahan pasar yang kini didominasi oleh generasi milenial dan gen Z. Tetap relevan dengan pasar yang ada menjadi tantangan tersendiri bagi Sasa.
Sasa pun menyadari bahwa produk yang mereka hadirkan merupakan new challenger atau bukanlah top of mind dari konsumen. Untuk menyiasati hal tersebut, Sasa berkolaborasi dengan sejumlah brand dari berbagai sektor tanpa kehilangan identitas mereka.
Sasa menargetkan brand yang memiliki hubungan dengan generasi muda dan dapat membantu mereka untuk mengakselerasi tujuan mereka. Sasa menyadari ketika mereka menghadapi kesulitan, kolaborasi yang bahkan dianggap aneh tidak bisa disalahkan.
Misalnya saja ketika mereka berkolaborasi dengan brand kecantikan. Orang mungkin mempertanyakan dan penasaran. “Rasa penasaran ini paling susah ditemukan dari konsumen. Kolaborasi yang tampak bertabrakan ini justru menarik perhatian konsumen,” jelas Yosanova.
Menutup penjelasannya, Yosanova mengungkapkan inti dari strategi pemulihan ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Berbeda dengan situasi biasanya, di masa krisis perusahaan harus act dulu barulah learn, kemudian build. Perusahaan harus mengubah pola pikir.